Baru-baru ini, pada sebuah perjumpaan dengan sejumlah wartawan media massa, Presiden Yudhoyono memberikan sekelumit tanggapan terkait dengan komitmen negara dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Tanggapan ini muncul sebagai respon atas pertanyaan seorang wartawan, yang mempertanyakan lambannya pemerintahan Yudhoyono, dalam menyikapi persoalan pelanggaran HAM masa lalu. Seperti biasanya, jawaban Presiden dapat dikatakan jauh dari memuaskan.
Tidak menjelaskan dengan detail mengenai langkah atau rencana konkrit yang akan ditempuh pemerintah untuk menyelesaikan beragam kasus pelanggaran HAM masa lalu, Presiden justru terkesan mau cuci tangan. Dikatakan Presiden, sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang berat, tidak terjadi dalam masa pemerintahannya, sehingga pemerintahan saat ini hanya memiliki tanggungjawab moral untuk menyelesaikannya. Yudhoyono malah memberikan pujian sepihak bagi pemerintahannya, klaimnya, selama tujuh tahun kekuasannya, tidak pernah terjadi peristiwa pelanggaran HAM yang serius.
Beberapa inisiatif sebenarnya sudah dilakukan oleh negara, sebagai jawaban atas desakan tentang pentingnya penyelesaian peristiwa masa lalu. Sebagai awalan, pemerintahan Habibie di tahun 1998, membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), untuk melakukan penyelidikan atas peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998. Dalam laporannya, TGPF menyimpulkan adanya tindakan kejahatan hak asasi manusia dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998. Habibie juga mengeluarkan Keputusan Presidan (Keppres) No. 88 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Indepeden Pengusutan Tindak Kekekarasn di Aceh. Komisi ini dibentuk untuk melakukan penyelidikan atas dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia selama penerapan daerah operasi militer (DOM), dan pembunuhan Teungku Bantaqiah.
Upaya untuk melakukan pengungkapan kembali kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu kian mendapatkan ruang setelah keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini memberikan mandat kepada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap suatu peristiwa yang di dalamnya patut diduga telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia.[1] Berdasarkan mandat ini selanjutnya Komnas HAM membentuk sejumlah Komisi Penyelidik Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM), untuk melakukan penyelidikan atas dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia pada beberapa peristiwa, baik yang aktual maupun yang terjadi di masa lalu.
KPP-HAM Timor Timur yang dibentuk guna menyelidikan dugaan pelanggaran HAM di Timor Timur, jelang dan sesudah jajak pendapat, mengawali wewenang baru Komnas HAM untuk melakukan penyeledikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Selain KPP-HAM Timor Timur, Komnas HAM juga membentuk KPP-HAM untuk beberapa peristiwa yang lain, antara lain KPP-HAM untuk peristiwa Tanjung Priok 1984, tragedi Trisakti-Semanggi 1998, peristiwa Talang Sari 1989, peristiwa penghilangan paksa 1997-1998, dan KPP-HAM untuk peristiwa 1965. Khusus untuk peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, sesuai dengan ketentuan di dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hasil penyelidikan Komnas HAM selanjutnya dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan dengan langkah penyidikan dan penuntutan. Selain itu, hasil penyeledikan ini juga wajib diserahkan ke DPR untuk dilakukan penelaahan, yang kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya rekomendasi DPR tentang langkah-langkah yang harus ditempuh pemerintah untuk menuntaskan kasus tersebut, khususnya perlu tidaknya pembentukan pengadilan ad hoc hak asasi manusia.
Dari beberapa kasus yang sudah dilakukan penyelidikan pro-justisia oleh Komnas HAM, dua diantaranya sudah disidangkan di Pengadilan HAM ad hoc. Kasus pelanggaran HAM di Timor Timur menjadi kasus pertama yang disidangkan di Pengadilan HAM ad hoc. Dalam persidangan kasus ini, 18 terdakwa disidangkan, yang terdiri dari 10 orang militer, 4 orang polisi, dan 4 orang sipil. Seluruh terdakwa akhirnya dibebaskan setelah melalui seluruh tingkatan proses peradilan. Kasus kedua yang disidangkan dalam Pengadilan HAM ad hoc adalah pelanggaran HAM yang berat pada kasus Tanjung Priok 1984, yang persidangannya digelar pada tahun 2004. Pengadilan ini menyidangkan 14 orang terdakwa, semuanya dari Militer, dan akhirnya semua terdakwa bebas (di Pengadilan Tingkat I, 12 orang dinyatakan bersalah dan ada putusan tentang kompensasi korban, tingkat banding dan kasasi semua terdakwa dibebaskan).
Pada beberapa kasus yang lain yang penyelidikannya sudah dirampungkan Komnas HAM, prosesnya mandeg di Kejaksaan, seperti kasus Talangsari 1989 dan kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998. Sementara itu sejumlah kasus lainnya, nasibnya masih menggantung proses penyelesaiannya di DPR, bahkan untuk kasus Trisakti-Semanggi 1998 DPR menolak untuk mengeluarkan rekomendasi pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Inkonsistensi pemerintah dan DPR dalam menyikapi dan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu, sesungguhnya menunjukan betapa mereka belum memiliki parameter yang akuntabel untuk mempertanggungjawabkan kejahatan-kejahatan negara di masa lalu. Pertimbangan politik jelas lebih utama untuk menentukan lanjut tidaknya penyelesaian suatu kasus.
Menelusuri Kebijakan Penyelesaian Masa Lalu
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, menjadi itikad pertama bangsa ini setelah tumbangnya pemerintah otoritarian, tentang pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam kerangka penghormatan inilah, setiap terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia, haruslah diikuti dengan proses pertanggungjawaban yang akuntabel, termasuk terhadap kasus yang terjadi di masa lalu. Dalam rangka menjalankan mandat ketetapan MPR inilah kemudian lahir UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang salah satu bagiannya secara khsusu mengatur kelembagaan dan mandat Komnas HAM. Pemerintahan Habibie pada waktu, karena berbagai desakan internasional terkait dengan kasus Timor Timur, juga mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, pada 8 Oktober 1999. Namun Perppu ini akhirnya ditolak DPR untuk menjadi undang-undang. DPR menyatakan Perpu 1 Tahun 1999 tidak secara komprehensif menyebutkan jenis kejahatan dan bentuk tindak yang dapat dikategorikan sebagai “pelanggaran HAM yang berat”, tidak cukup rincinya pengaturan mengenai proses peradilan, dan tidak dapat diberlakukan secara retroaktif.
Sebagai pengganti Perppu No. 1 Tahun 1999, akbibat kebutuhan yang mendesak, kemudian secara tergesa-gesa pemerintah menyiapkan regulasi pengadilan HAM yang baru, yang selanjutnya disahkan oleh DPR pada 23 November 2000, menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang ini tidak hanya memungkinkan proses akuntabilitas hukum bagi kasus yang terjadi setelah lahirnya undang-undang ini, tetapi juga memungkinkan digelarnya peradilan bagi kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Selain menjadi pijakan bagi proses akuntabilitas hukum melalui jalur pengadilan, undang-undang ini di dalam Pasal 47 juga memungkinkan penggunaan ruang lain dalam penyelesaian masa lalu, yakni melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pasal 47 UU Pengadilan HAM menyebutkan:
(1) Pelanggaran hak sasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
(2) Komisi Kebenaran danRekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang.
Ketentuan di dalam Pasal 47 UU Pengadilan HAM ini selaras dengan mandat reformasi yang dituangkan di dalam TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Di dalam Bab V Tap MPR No. V/MPR/2000 perihal Kaidah Pelaksanakan, dalam butir 3 secara lengkap disebutkan:
Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dengan undang-undang. Komisi ini bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa, dengan sepenuhnya memerhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.
Sejalan dengan TAP MPR No. V/MPR/2000, mandat serupa juga ditemukan di dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Di dalam Pasal 45 undang-undang ini disebutkan perlunya pembentukan perwakilan Komnas HAM, Pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua, dalam rangka menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati hak asasi manusia di Provinsi Papua. Bahkan di dalam Pasal 46 UU Otsus Papua secara tegas dimandatkan perihal pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Pembentukan KKR di Papua berfungsi untuk melakukan klarifikasi sejarah Papua, yang bertujuan guna pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa. Lebih jauh, KKR di Papua bertugas untuk melakukan kerja-kerja rekonsiliasi, yang mencakup pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat dan dengan memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.[2]
Guna meneruskan mandat dari TAM MPR No. V/MPR/2000, pada tahun 2003, pemerintah dan DPR memulai pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di DPR. Pembahasan RUU ini dilakukan DPR dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang terdiri dari 50 orang dari lintas fraksi. Pembahasan RUU KKR memakan waktu lebih dari satu setengah tahun sebelum akhirnya di sahkan menjadi undang-undang pada 7 September 2004. Tragisnya, belum lagi sempat terbentuk kelembagaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 7 Desember 2006, dalam perkara No. 006/PUU-IV/2006, membatalkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.[3] Dalam pertimbangan hukum putusannya (ratio decidendi), MK menyatakan bahwa pasal yang dibatalkan merupakan pasal jantung dari apa yang menjadi tujuan UU KKR, sehingga dengan pembatalan pasal ini, maka KKR tidak lagi bisa menjadi tujuannya, karenanya UU KKR perlu dibatalkan secara keseluruhan.
Namun demikian, untuk tetap memastikan berlangsungnya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu, khususnya proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi, sebagai bagian dari transisi demokrasi, dalam putusannya MK menyatakan bahwa pembatalan UU KKR tidaklah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.[4]
Sesaat sebelum dibatalkannya UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR, pemerintah mengundangkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang juga mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. Di dalam Pasal 229 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh disebutkan, “Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh”. Mandat pembentukan KKR di Aceh ini, juga merupakan kelanjutan dari Kesepakatan Damai Helsinki, antara Pemerintah Indonesia dengan GAM. Di dalam bagian Hak Asasi Manusia, yang menjadi salah satu klausula kesepakatan damai, disebutkan bahwa KKR di Aceh akan dibentuk oleh KKR Indonesia, dengan tugas untuk memformulasikan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.[5]
Mandeg Setelah Pembatalan
Setelah pembatalan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hampir tidak ada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, terkait dengan upaya penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Justru yang terjadi adalah sejumlah penundaan oleh Kejaksaan Agung untuk menidaklanjuti hasil penyeledikan yang dilakukan oleh Komnas HAM, dengan melakukan proses penyidikan dan penuntutan. Terhitung sejak masa pemerintahan Yudhoyono, tidak satu pun pengadilan HAM ad hoc dibentuk untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Mandat putusan MK untuk membuat kebijakan hukum baru atau mencari inisiatif baru penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, khususnya yang melalui jalur rekonsiliasi, pun tidak dilakukan dalam lima tahun pasca-pembatalan. RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang kabarnya sudah disiapkan oleh pemerintah, pun tidak kunjung dilakukan pembahasan, dengan alasan yang sebenarnya lebih bersifat politis dari pada prinsipil. Lebih mengherankannya lagi, merujuk pada UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, disebutkan tentang pentingnya melaksanakan rekonsiliasi nasional untuk menyelesaikan dan menuntaskan persoalan-persoalan yang masih mengganjal pada masa yang lalu, seperti pelanggaran HAM berat dan tindakan-tindakan kejahatan politik yang dilakukan atas nama negara, sebagai salah satu bagain dari konsolidasi demokrasi. Akan tetapi menjelang sewindu masa pemerintahan Yudhoyono, belum menampakan ada tanda-tanda untuk mengimplementasikan rencana ini.
Rekomendasi DPR terkait kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998 yang dikeluarkan pada 2009, sampai dengan saat ini pun belum ditindaklanjuti dengan langkah berarti, kecuali rencana ratifikasi konvensi anti-penghilangan paksa, yang dituangkan di dalam RAN HAM dan Prolegnas. Khusus untuk kasus penghilangan paksa, naif ketika dalam pidatonya, Presiden mengatakan, “Proses hukum itu sebetulnya sudah ada dan sudah dilakukan, bahkan mereka, nama-nama yang diduga terlibat dalam penculikan atau kasus orang hilang juga sudah dijatuhi hukuman, ada yang dipecat, ada yang diberikan hukuman apa pun. Berarti proses pengadilan itu sudah terjadi”.[6] Menjadi pertanyaan besar kita semua, sebenarnya apa yang ada di dalam benak Yudhoyono, hingga dalam dua kali masa pemerintahannya belum mengambil langkah apapun untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu. [ ]
[1] Pasal 89 ayat (3) huruf b UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyebutkan, “penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terhadap pelanggaran hak asasi manusia”. Kewenangan ini diperkuat oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang memberikan wewenang pada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, seperti di tegaskan di dalam Pasal 18 ayat (1).
[2] Lihat Penjelasan Pasal 46 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
[3] Dalam permohonannya para pemohon uji materiil ini mendalilkan, bahwa sejumlah ketentuan UU KKR bertentangan dengan UUD 1945, diantaranya mengenai pemberian amnesti kepada pelaku, dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang “seolah” membiarkan terjadinya tawar menawar dengan pelaku, karena adanya prasyarat rekonsiliasi atau penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dilakukan setelah adanya amnesti kepada para pelaku, klausul-klausul tersebut juga dianggap bertentang dengan hukum hak asasi manusia internasional, hukum humaniter, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip terkait hak-hak korban. Selengkapnya lihat: Indriaswati Dyah Saptaningrum, dkk., Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Hak Konstitusional: Pandangan Kritis atas Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial Review UU KKR dan Implikasinya bagi Penyelesaian Pelanggaran HAM di Masa Lalu, Seri Briefing Paper ELSAM, No. 01 January 2007.
[4] Lihat Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006, hal. 131.
[5] Lihat Memorandum of Understanding antara Pemerintah RI dengan GAM.
[6] Lihat Transkrip Dialog Presiden Republik Indonesia dengan Wartawan Istana Kepresidenan pada Acara Silaturahmi dengan Wartawan Istana Kepresidenan, di Istana Negara, 13 Februari 2012
Pertama kali dipublikasikan dalam Buletin Asasi Elsam edisi Januari-Februari 2012
Leave a Reply