Bebarapa saat lagi Pemilu 2009 akan menghampiri kita, adakah sesuatu yang berbeda? Kita patut berharap, Pemilu 2009 akan memberi warna baru bagi demokrasi Indonesia, demokrasi yang memikirkan kesejahteraan. Sebagian orang mengatakan, dengan meminjam istilah Geertz, Indonesia tengah mengalami involusi demokrasi, sebuah periode keterbelakangan demokrasi. Kondisi ketika organ Negara sepertinya sudah tak mampu lagi mengurus rakyatnya, partisipasi warganegara pun sedemikian rendahnya, hanya terbatas pada ruang-ruang politik semata. Jamaknya state auxiliary agencies juga menjadi pertanda, ketidakmampuan Negara dalam melakukan pengurusan segala kepentingan Negara, termasuk pemenuhan hak-hak konstitusional warganegara. Proyek redemokratisai yang dimulai semenjak reformasi 1998, hanya mampu menciptakan keterbukaan politik, itu pun sekedar didominasi minoritas elite, rakyat kebanyakan tetap saja merem politik, mereka sekedar menjadi mesin pendulang suara waktu pemilu. Lalau di mana kesejahteraan, ketika politik berkuasa atas segala-galanya?
Realitas politik adalah realitas keberpihakan. Dalam kehidupan riil, paradigma politik akan menentukan pada siapa atau kelompok mana, realitas politik akan berpihak. Menurut Marx, negera hanyalah sekedar panitia yang mengelola kepentingan kaum berkuasa secara menyeluruh, karenanya politik sebenarnya berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi (Budiman, 1997). Karenanya upaya penguatan kesadaran politik rakyat menjadi penting, agar rakyat tidak terus-menurus sekedar menjadi objek politik. Akan tetapi berkembang menjadi subjek politik, yang mampu mengarahkan realitas politik untuk berpihak kepada rakyat.
Ketimpangan dan ketidakadilan yang marak di depan mata kita, menjadi fakta empiris kegagalan Negara dalam melakukan pemajuan kesejahteraan. Kondisi ini bisa terjadi sebagai akibat lemahnya desakan dan dorongan politik masyarakat terhadap elite politik sebagai operator Negara. Atau realitas politik yang memang tidak mengarah pada upaya peningkatan kesejahteraan warganegara. Hakikat Negara yang reason d’etre-nya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak warganegara harus dikembalikan. Realitas politik harus dibangun agar mengarah pada pemajuan hak-hak warganegara. Pada proses inilah dibutuhkan sebuah masyarakat politik yang kuat, yang mampu mendesakkan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Masyarakat politik yang kuat tidak tercipta sekadar dengan pemahaman rakyat atas proses atau mekanisme politik yang harus dilaluinya. Melainkan, terlebih dahulu mereka harus memahami hak-haknya sebagai warganegara, baik hak politik maupun hak sosialnya. Relasi Negara—yang merupakan realitas politik—dengan warganegara harus ditata kemabali dengan pendekatan hak, agar supaya realitas politik terus mengarah pada pemenuhan hak-hak warganegara. Melalui perspektif hak, kiranya ada penegasan bahwa hak-hak warganegara diakui, dijamin, dan akan dimajukan, tidak sekedar tertulis di konstitusi. Harapannya, ada sebuah pendekatan baru yang dibangun untuk menyongsong Pemilu 2009. Rakyat tidak hanya diarahkan atau ditingkatkan kesadarannya untuk membangun komitmen politik dengan elite politik. Tetapi dikuatkan pula kemampuan untuk menciptakan sebuah komitmen sosial. Pemilu 2009 tidak lagi sekedar menjadi hajatan rutin atas nama demokrasi, melainkan sebuah moment politik untuk mempertegas kontrak sosial rakyat dan Negara.(*)
Leave a Reply