Baru-baru ini setelah disahkannya RUU Ormas menjadi undang-undang, muncul wacana publik untuk melakukan pembangkangan sipil (civil disobedience) terhadap berlakunya undang-undang ini. Sederhananya, publik akan didorong untuk melakukan aksi ketidakpatuhan terhadap perintah dari UU Ormas. Pembangkangan sipil sebagai sebuah gerakan ketidaktaatan hukum untuk tujuan perubahan sosial yang lebih vital, memang dibenarkan dalam era demokrasi.
Konsep pembangkangan sipil pertama kali mengemuka saat Henry David Thoreau, seorang filosof Amerika lulusan Harvard, pada tahun 1846 menyatakan diri tidak akan membayar pajak pada pemerintah, sebagai bentuk protes terhadap terjadinya Perang Meksiko. Akibat aksinya ini, Thoreau kemudian dipenjara. Dia menggambarkan peristiwa ini dalam sebuah esai populer berjudul ‘civil disobedience’.
Analisis mengenai pembangkangan sipil yang dibuat oleh Thoreau sesungguhnya adalah analisis hubungan individu dengan negara yang berfokus pada: mengapa seorang warganegara mematuhi hukum yang diciptakan oleh pemerintah padahal mereka percaya bahwa hukum itu tidak adil? Sebenarnya uraian ini dimensinya sangat personal dari Thoreau, yang dipenjara karena dianggap melanggar hukum. Thoreau dipenjara karena ia membenci perbudakan dan karena penerimaan pajak memberikan kontribusi untuk mendukung perbudakan itu, sehingga dia memutuskan untuk menjadi seorang pemberontak pajak. Thoreu tidak mau membayar pajak penghasilan dan pajak properti, termasuk juga pajak modal (Bedau, 1991: 28)
Paparan dari Thoreau inilah yang kemudian menginspirasi ajaran Mohandas Gandhi di India mencetuskan gerakan satyagraha (keteguhan berpegang pada kebenaran). Gerakan ini menekankan pada perjuangan untuk menentang ketidakadilan melalui kesediaan diri menanggung penderitaan, dan melawan pelaku kejahatan dengan cara nir-kekerasan (non-violence) (Dharampal, 1971). Selain Gandhi, Martin Luther King di Amerika Serikat, saat memperjuangkan anti-rasialisme juga diinspirasi oleh ajaran dari Thoreau. King menggunakan kampanye non-kekerasan sebagai sebuah bentuk pembangkangan sipil, ada empat langkah dasar yang harus dilakukan menurutnya: (1) Pengumpulan fakta untuk menentukan apakah ada ketidakadilan; (2) Negosiasi; (3) Pemurnian gerakan; dan (4) Aksi secara langsung (Bedau, 1991: 68).
Sementara ahli filsafat John Rawls dalam A Theory of Justice (1971) menjelaskan pembangkangan sipil sebagai tindakan publik yang dilakukan tanpa kekerasan, namun secara politik bertentangan dengan hukum, biasanya dilakukan dengan tujuan untuk mendorong perubahan undang-undang atau kebijakan pemerintah. Gerakan ini mencoba menyuarakan rasa keadilan sebagian besar masyarakat, akibat tidak dihormatinya suatu pendapat yang sifatnya prinsipil dalam kerangka kerjasama sosial dan kesetaraan.
Lebih jauh diterangkan Rawls, secara teoritik pembangkangan sipil hanya terjadi pada suatu tatanan masyarakat yang adil dalam suatu rezim yang demokratis, namun di dalamnya terjadi suatu tindakan ketidakadilan yang serius. Tegasnya, pembangkangan sipil secara teoritik dan peranannya sah dilakukan terhadap otoritas demokrasi. Pembangkangan sipil dilakukan oleh warga negara yang mengakui dan menerima legitimasi konstitusi. Tindakan ini biasanya terjadi karena tiadanya titik temu antara kewajiban mematuhi hukum sebagai produk legislatif yang didukung eksekutif, dengan hak untuk membela kebebasan seseorang dan tugas untuk menentang ketidakadilan. Ditegaskannya, ada tujuh batasan untuk mengatakan sebuah tindakan sosial sebagai bagian dari pembangkangan sipil, yaitu:
- Melanggar hukum dan memang dimaksudkan demikian—melanggar hukum;
- Dilakukan tanpa kekerasan;
- Dilakukan oleh masyarakat dengan adanya suatu pemberitahuan yang fair;
- Disertai dengan kesediaan untuk menerima konsekuensi hukum;
- Dilakukan untuk membawa perubahan dalam hukum atau dalam kebijakan pemerintah;
- Ditujukan untuk keadilan mayoritas;
- Ditujukan kepada rasa keadilan utamanya yang tergabung dalam hukum dan lembaga-lembaga sosial.
Sementara ahli hukum Joseph Raz, dalam The Authority of Law (1979) mengatakan bahwa pembangkangan sipil sering dikatakan harus non-kekerasan. Menurutnya ketidakpatuhan yang bersifat non-kekerasan jauh lebih disukai daripada menggunakan cara-cara kekerasan. Pertama, kerugian langsung yang disebabkan oleh kekerasan dapat dihindari; Kedua, dorongan atau ajakan untuk melakukan tindak kekerasan secara umum dipahami sebagai suatu tindakan yang salah/keliru; Ketiga, penggunaan kekerasan merupakan isu yang sangat emosional dan eksplosif di banyak negara dan cenderung memusuhi sekutu potensial.
Dalam praktiknya di dunia, pembangkangan sipil juga sudah sering dilakukan, dan terjadi hampir sepanjang tahun. Belakangan di Syiria, pada tahun 2011 para aktivis mengampanyekan pembangkangan sipil untuk melawan pemerintahan President Bashar al-Assad. Kemudian di Amerika Serikat, pada Agustus 2011 para aktivis lingkungan, tokoh adat dan agama, mahasiswa, serta para pemilik tanah duduk selama dua minggu di trotoar depan Gedung Putih, untuk menentang eksplorasi minya di sepanjang teluk Meksiko. Pengalaman di China, pembangkangan sipil terjadi tahun 2000-an ketika berkembang gerakan pembangkangan sipil berupa menolak membayar pajak, protes di desa-desa dan mogok kerja.
Di kawasan Asia Tenggara praktik pembangkangan sipil juga marak dilakukan, misalnya yang terjadi di Myanmar tahun 2007, pembangkangan sipil dilakukan dengan melakukan pemogokan aktifitas. Kemudian di Thailand, tahun 2010, Sondhi Limthongkul, pemimpin Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD) mengampanyekan gerakan pembangkangan sipil dengan menduduki gedung-gedung pemerintah dan bandara. Selain perlawanan terhadap pemerintah, pembangkangan sipil juga seringkali dilakukan oleh organisasi non-pemerintah terhadap organisasi internasional seperti WTO dan G8 (Lawrence Quill, 2009: 3).
Di Indonesia sendiri praktik pembangkangan sipil usianya sudah sangat tua. Sebagai contoh gerakan pembangkangan sipil yang dipelopori oleh Samin Surosentiko pada 1890 di Blora, yang biasa kita kenal dengan gerakan ‘samin’. Gerakan samin sebagai sebuah pembangkangan sipil dilakukan dengan menentang segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat kepada pemerintah kolonial saat itu.
Pengalaman yang lebih baru terjadi saat pengesahan UU Unjuk Rasa tahun 1998, yang disahkan pada 26 Oktober 1998 (UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum). Regulasi ini mewajibkan setiap kelompok yang hendak melakukan unjuk rasa untuk terlebih dahulu melapor ke kepolisian dan memberitahukan jumlah massa yang akan terlibat unjuk rasa. Meski kepolisian telah memasang iklan besar-besar di sejumlah media massa nasional mengenai undang-undang, praktiknya masyarakat cuek dengan pengumuman tersebut. Tanggal 28 Oktober 1998 terjadi unjuk rasa besar di enam kota di Indonesia, tanpa sedikit pun memgindahkan aturan yang ada di dalam UU Unjuk Rasa. Pembangkangan sipil dilakukan saat itu (Tanuredjo, 1999: 64).
Sebelumnya, saat UU No. 8 Tahun 1985 tentang Ormas diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru, pembangkangan juga sempat dilakukan. Asmara Nababan (2008) menuturkan ketika beberapa kali bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Rudini dan Jaksa Agung, ia selalu dipaksa untuk memasukan Elsam ke dalam Ormas. Namun ide petinggi pemerintah itu ditolak Elsam, menurut Asmara kalau Elsam menerima untuk dimasukan dalam Ormas, maka sama saja dengan memberi peluang pemerintah ikut campur tangan urusan internal organisasi, selain juga harus mendapatkan surat keterangan terdaftar dari Menteri Dalam Negeri (Manan, 2008:16).
Rencana pembangkangan sipil yang dipelopori oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil terhadap berlakunya UU Ormas yang baru, tentu menjadi tantangan tersendiri dalam situasi saat ini. Pemerintahan masa reformasi yang berkuasa saat ini tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan masa ketika rezim otoritarian birokratik Soeharto berkuasa. Musti ada batasan yang ketat untuk kampanye pembangkangan sipil yang hendak dilakukan, seperti halnya batasan-batasan yang dibuat oleh sejumlah ahli di atas, dengan beragam pendekatan teorinya.
Bahan Bacaan
– Henry David Thoreau, Civil Disobedience, (Mozambook, 2001)
– Dharampal, Civil Disobedience in Indian Tradition, (Puna: Sujit Patwardhan for Other India Press, 2000).
– Hugo Adam Bedau (ed.), Civil Disobedience in Focus, (New York: Routledge, 1991).
– Lawrence Quill, Civil Disobedience (Un)Common Sense in Mass Democracies, (Hampshire: Palgrave Macmillan, 2009).
– Peter E. Quint, Civil Disobedience and the German Courts, (New York: Routledge, 2008).
– Joseph Raz, The Authority of Law, (Oxford: Oxford University Press, 1979).
– John Rawls , A Theory of Justice, (Cambridge: Harvard University Press, 1999).
– Budiman Tanuredjo, Pasung Kebebasan: Menelisik Kelahiran UU Unjuk Rasa, (Jakarta: Elsam, 1999).
– Abdul Manan, Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Eksam Memperjuangkan HAM, (Jakarta: Elsam, 2008).
Leave a Reply