Seperti halnya klasifikasi konstitusi, pandangan tentang materi muatan konstitusi pun beranekaragam. Ide mulanya, materi konstitusi setidaknya memberikan pengaturan menganai struktur organisasi negara, pembatasan terhadap masing-masing struktur organisasi negara, dan pengakuan terhadap persamaan politik serta kebebasan individu—civil liberties. Namun pada perkembangannya, seiring dengan berkembangnya permasalahan dalam kehidupan kenegaraan, materi muatan konstitusi, sedikit banyak pun mengalami perubahan. Baik terkait dengan struktur organisasi negara, ataupun kaitannya dengan jaminan hak asasi manusia.
Dalam bukunya, Modern Constitution, Wheare mengajukan satu pertanyaan, what should a constitution contain? Secara sederhana Wheare kemudian menjawab, bahwa, “The very minimum, and that minimum to be rules of law. On e essential characteristic of the ideally best from of constitution is that it should be as shot as possible.”[1] Berbeda dengan Wheare, menurut Eric Barendt, karakteristik dari dokumen konstitusi, yang terutama adalah memberikan jaminan terhadap hak asasi manusia, memberikan batasan pada kekuasaan legislative dan pemerintah—eksekutif, serta mendorong penguatan institusi pengadilan—yudikatif. Selain itu konstitusi juga musti memberian pengaturan mengenai prosedur khusus dalam perubahan konstitusi, sebeb berbeda dengan pembentukan undang-undang pada umumnya.[2]
Sejalan dengan pemikiran Barendt, pada mulanya Sartori juga mengklaim bahwa perlindungan terhadap hak-hak individu dan masyarakat—hak asasi manusia—adalah satu hal utama dalam sebuah materi konstitusi, selain di dalamnya terdapat pula aturan mengenai pembatasan kekuasaan politik. Akan tetapi, pada kelanjutannya Sartori mengubah sikapnya dengan menyatakan bahwa intisari dari materi konstitusi adalah aturan yang membingkai suatu pemerintahan, sedangkan pernyataan deklarasi hak asasi manusia bukan merupakan sesuatau yang utama. Artinya, dalam konstitusi perihal yang pertama diatur ialah mengenai instrument pemerintahan yang membatasai, mengendalikan, dan menegakkan kontrol terhadap pelaksanaan kekuasaan politik.[3]
Hans Kelsen mengemukakan pendapatnya mengenai materi muatan konstitusi dengan sangat terperinci. Menurutnya suatu konstitusi setidaknya di dalamnya harus tercantum: (a) pembukaan—preambule; (b) ketentuan mengenai isi undang-undang di masa yang akan datang—determination of the contents of future statutes; (c) ketentuan tentang fungsi administrative dan yudikatif—determination of the administrative and judicial function; (d) hukum yang inkonstitusional—unconstitutional law; (e) pembatasan-pembatasan konstitusional—constitutional prohibitions; (f) perlindungan hak—bill of rights; dan (g) jaminan konstitusional—guarantees of the constitution.[4]
Secara ringkas dapat dijelaskan mengenai apa yang dikehendaki dari masing-masing materi muatan tersebut. Preambule, menjadi mukadimah yang berisikan gagasan-gagasan politik, moral dan religius yang dikehendaki oleh konstitusi tersebut. Dalam pembukaan ini materinya lebih bersifat ideologis, bukan yuridis. Determination of the contents of future statutes, berisikan aturan mengenai organ-organ negara dan mekanisme pembentukan hukum di masa yang akan datang, selain itu menentukan pula substansi hukum yang akan diterapkan di kelak kemudian hari. Determination of the administrative and judicial function, selain mengatur organ legislatif, konstitusi memberikan pengaturan pula mengenai fungsi organ eksekutif dan yudikatif. Unconstitutional law, segala peraturan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan apa yang telah diatur di dalam konstitusi adalah dilarang dan inkonstitusional. Constitutional prohibitions, selain mengatur mengenai kewenangan dan fungsi dari organ legislative, eksekutif dan yudikatif, konstitusi memberikan pula batasan-batasan kewenangan terhadap ketiga organ tersebut. Bill of rights, adanya perlindungan terhadap kebebasan dan hak-hak konstitusional warganegara. Guarantees of the constitution, adanya sebuah jaminan bahwa peraturan perundangan di masa yang akan datang materi muatannya akan tetap konstitusional.[5]
Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, suatu konstitusi setidaknya memuat beberapa hal berikut: (1) organisasi negara, berupa pembagian kekuasaan antara badan legislative, eksekutif, dan yudikatif, serta hubungan diantara ketiganya. Menentukan pula mengenai bentuk negara, hubungan antara hierarki kekuasan, dan mekanisme bilamana terjeda sengketa kewenangan konstitusional antar-organ-organ negara; (2) hak asasi manusia; (3) tata cara perubahan konstitusi; (4) kemungkinan larangan mengenai perubahan sifat tertentu dari konstitusi; dan (5) menjadi aturan hukum tertinggi yang mengikat seluruh warganegara.[6]
James Bryece, seperti diungkap oleh Sri Soemantri Martosoewignjo, menyatakan bahwa setiap konstitusi politik memiliki tiga objek utama, yaitu:[7]
- To establish and maintain a frame of government under which the work of the state can be efficiently carried on, the aims of such a frame of government baing on the one hand to associate the people with the government, and on the other hand , to preserve public order, to avoid hasty decisions and to maintain a tolerable continuity of policy.
- To provide due security for the right of the individual citizen as respects person, property, and opinion so that he shall have nothing to fear from the executive or from the tyranny of an excited majority.
- To hold the state together, not only to prevent its disruption by the revolt or secession of a part of the nation, but to strengthen the cohesiveness of the country by creating good machinery for connecting the outlying parts with the centre, and by appealing to every motive of interest and sentiment, that can leas all sections of the inhabitants to desire to remain united under on governments.
Sementara Sri Soemantri sendiri mengemukakan bahwa materi konstitusi pada umumnya menyantumkan perihal mengenai: (1) adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan warganegara; (2) penetapan mengenai susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental; dan (3) pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang sifatnya mendasar.[8]
UUD 1945, ketika pertama kali ditetapkan pada 18 Agustus 1945, susunannya terdiri dari: pembukaan, pasal-pasal sebanyak tigapuluh tujuh, empat pasal aturan peralihan, dua ayat aturan tambahan, disertai dengan penjelasan. Pada pasal-pasalnya berisikan enambelas bab, yang mengatur mengenai: bentuk dan kedaulatan, majelis permusyawaratan rakyat, kekuasan pemerintahan, dewan pertimbangan agung, kementrian negara, pemerintah daerah, dewan perwakilan rakyat, hal keuangan, kekuasaan kehakiman, warganegara, agama, pertahanan negara, pendidikan, kesejahteraan sosial, bendera dan bahasa, serta perubahan undang-undang dasar.
Sedangkan setelah dilakukan empat kali perubahan, susunannya menjadi terdiri dari: pembukaan, meski tetap berjumlah tigapuluh tujuh pasal, tetapi materinya banyak mengalami perubahan, menjadi bersikan bentuk dan kedaulatan, majelis permusyawaratan rakyat, kekuasaan pemerintahan negara, kementerian negara, pemerintahan daerah, dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, pemilihan umum, hak keuangan, badan pemeriksa keuangan, kekuasaan kehakiman, wilayah negara, warganegara dan penduduk, hak asasi manusia, agama, pertahanan dan keamanan negara, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, bendera, bahasa, dan lambing negara serta lagu kebangsaan, terakhir mengenai perubahan undang-undang dasar. Tiga pasal aturan peralihan, dan dua pasal aturan tambahan, tanpa disertai dengan penjelasan.
[1] K.C. Wheare, Modern Constitutions, (New York-Toronto-London: Oxford University Press, 1975), hal. 33-34.
[2] Eric Barendt, An Introduction to Constitutional Law, (Oxford: Oxford University Press, 1998), hal. 1.
[3] Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitution Making in Transtition, (Jakarta: Kompas, 2008), hal. 28-29.
[4] Hans Kelsen, General Theory of Law and State (terj—Raisun Muttaqien), (Bandung: Nusamedia, 2006), hal. 367-379.
[5] Ibid.
[6] Miriam Budiardjo, Dasar Ilmu Politik (edisi revisi), (Jakarta: Gramedia, 2008), hal. 177-178.
[7] Sri Soemantri Martosoewignjo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 48. Seperti dikutip dari James Bryce, dalam Studies in History and Jurisprudence, Volume I, 1901, hal. 271-272.
[8] Ibid., hal. 51.
Leave a Reply