WahyudiDjafar's Blog

law, human rights, internet, and security

Gagasan Pembentukan MK di Indonesia

pancasilaGagasan mengenai pelembagaan/ institusionalisasi sebuah lembaga peradilan tata negara (constitutional court), tidak lepas dari upaya serius untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara, yang acapkali terancam oleh kesewenang-wenangan pemerintah berkuasa. Upaya inilah yang selanjutnya melahirkan konsepsi “constitutional review” atau pengujian konstitusional. Konsepsi ini lahir sebagai buah perkembangan pemikiran dari gagasan tentang negara hukum –dalam pengertian rule of law–, prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), dan upaya perlindungan serta pemajuan hak asasi manusia. Kolaborasi ketiga Ide dasar kemudian dikembangkan dalam sebuah konsep constitutional review, sebagai jawaban atas kebutuhan adanya suatu pemerintahan modern yang demokratis.[1] Terdapat sedikitnya dua tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari pengembangan model constitutional review. Pertama, adalah untuk menjamin adanya sebuah perimbangan atau hubungan yang sinergis yang menjadi refleksi dari berjalannya system demokrasi antara tiga cabang kekuasaan yang ada, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mekanisme ini dimaksudkan agar ketiga cabang kekuasaan yang ada tidak berjalan secara timpang, atau ada dominasi oleh satu cabang kekusaan yang satu terhadap cabang kekuasaan yang lain, semisal praktek-praktek executive heavy atau legislative heavy yang kerap melanda Indonesia. Kedua, adalah sebagai sebuah upaya untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara, yang telah dijamin konstitusionalitasnya oleh konstitusi (UUD), dari perilaku absolute pemegang kekuasaan, yang dapat berakibat pada dikebirinya/dilanggarnya hak-hak fundamental warga negara.[2]

Ide constitutional review pada kelanjutannya tumbuh dengan massif seiring dengan menguatnya semangat penegakkan konstitusi sebagai grondnorm/higest norm atau hukum dasar tertinggi, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi, semua norma hukum negara haruslah konsonan dengan norma-norma konstitusi.[3] Konstitusi menjadi perwujudan dari konsepsi negara hukum baik rechtsstaat maupun the rule of law, dimana negara tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan semata (absolutisme/machtstaat), tetapi didasarkan atas hukum, yang diejawantahkan sekaligus disimbolkan dalam suatu konstitusi, sebagai bentuk kontrak sosial warga negara dengan negara. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignty of the people) kepada negara, melalui konstitusilah rakyat merelakan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus senantiasa dikawal dan dijaga, sebab semua bentuk penyimpangan kekuasaan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan ujud pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.

Pascameletusnya Revolusi Perancis, yang melahirkan gagasan pemisahan kekuasaan negara secara ketat (strict separation of governmental power), sebagaimana dicetuskan oleh Montesquieu 1748, pemisahan secara absolut ini merupakan manifestasi perlawanan terhadap tradisi absolutisme. Berakar dari gagasan pemisahan kuasa inilah kemudian berkembang ide yang dikenal dengan judicial review, doktrin ini mengajarkan bahwa hakim memiliki kewenangan untuk menilai dan menentukan berlaku tidaknya suatu aturan hukum yang dianggap sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturan yang lebih tinggi.[4] Meski Perancis pada waktu itu menolak pandangan ini, karena berpegang teguh pada supremasi parlemen, sebagai lembaga perwakilan rakyat, setidaknya ide tentang mekanisme judicial review telah terlontar semenjak pecahnya Revolusi Perancis.

Upaya penegakkan konstitusi dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara menjadi karakteristik dari cita-cita tentang negara hukum, meskipun karakteristik ini kemudian diaplikasikan dalam bentuk yang berbeda, namun esensi keduanya tetaplah sama. Konsep rechtsstaat mengehendaki perlindungan hak-hak konstitusional warga negara melalui mekanisme paradilan adiministrasi, yang artinya warga negara dapat mengajukan gugatan administrasi terhadap tindakan pemegang kekuasaan atau aturan yang dianggap melanggar hak-hak konstitusionalnya, pada sebuah lembaga peradilan administrasi, sedangkan konsep the rule of law menitikberatkan pada metode judicial, atau melalui mekanisme judicial review. Karena tulisan ini akan mencoba untuk melakukan penelusuran terhadap pelembagaan pengadilan tata negara (constitutional court), maka tulisan ini selanjutnya akan lebih banyak mengelupas term judicial review, dan mengenai upaya administrasi akan dikupas pada bagian tulisan yang lain.

Doktrin judicial review menyeruak kembali dan dipertegas oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat (The Supreme Court United States of America) ketika memutus perkara Marbury versus Madison tahun 1803. Dalam putusannya John Marshall sebagai Ketua Mahkamah Agung (chief justice) menyatakan bahwa Judiciary Act 1789 yang dijadikan dasar gugatan William Marbury terhadap James Madison adalah bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat, sehingga dalam memeriksa perkara tersebut Mahkamah Agung menggunakan pintu kewenangan yang ditafsirkan dari konstitusi, bukan melalui Judiciary Act 1789. Peristiwa monumental yang tidak pernah terjadi dalam dunia peradilan sebelumnya inilah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya gelar sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution), yang melekat pada Mahkamah Agung. Konstitusi menjadi “the supreme law of the land,” oleh karenanya segala peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya harus tunduk dan konsonan terhadapnya, apabila terjadi pertentangan, maka aturan yang lebih rendah dinyatakan tidaklah berlaku mengikat. [5] jadi, di sini Mahkamah Agung berfungsi sebagai negative legislature, dan hakim-hakimnya berkedudukan sebagai judge made law, karena mereka berwenang menemukan dan menginterpretasikan suatu aturan hukum dengan sandaran konstitusi.

Jika di Amerika Serikat yang menganut system hukum anglo saxon fungsi sebagai the guardian and the interpreter of constitution melekat pada Mahkamah Agung, maka lain lagi yang berlaku di Austria yang menganut system hukum Eropa Kontinental. Austria yang menganut model Kelsenian (the Kelsenian model) 1920, mempunyai sebuah institusi peradilan tersendiri di luar Mahkamah Agung, yang melaksanakan fungsi constitutional review. Institusi ini disebut sebagai Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court/Verfassungsgerichtshoft). Usulan pembentukan Mahmkamah Konstitusi disampaikan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharau Konstitusi Austria (Chancelery), pada tahun 1919-1920. Mahkamah Konstitusi Austria menjadi Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Model pemisahan ini terkait dengan hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the parliament). Terhadap konsepsi ini Hans Kelsen mengatakan: “Penerapan peraturan-peraturan konstitusi mengenai pembuatan undang-undang hanya dapat dijamin secara efektif jika suatu organ selain organ legislative diberi mandat untuk menguji apakah suatu undang-undang (hukum) sesuai atau tidak dengan konstitusi, dan untuk membatalkannya jika –menurut pendapat organ ini– hukum tersebut “tidak konstitusional.” Mungkin ada organ khusus yang dibentuk untuk tujuan ini, misalnya, pengadilan khusus yang disebut “pengadilan konstitusi;” atau pengawasan “kekonstitusionalitasan” suatu undang-undang yang disebut judicial review, dapat dilakukan oleh pengadilan-pengadilan biasa, dan terutama oleh pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung).”[6]

Model pembagian dua lembaga (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) yang dikemukakan Hans Kelsen ini, kemudian banyak ditiru oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, dengan maksud untuk memaksimalkan fungsi dari mekanisme constitutional review dan judicial review. Walaupaun begitu, sampai saat ini, baru sekitar 78 negara yang memiliki organ Mahkamah Konstitusi, karena kemunculan organ ini merupakan sebuah fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Yang menarik dicermati, kemunculan organ Mahkamah Konstitusi yang terlepas dari lembaga Mahkamah Agung, umumnya terjadi pada negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi negara demokrasi konstitusional.


[1] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 8-9. Sebagaimana dikutip dari Herbert Hausmaninger, The Austrian Legal System, 3rd edition, (Wien: Manz, 2003), hal. 139.

[2] Ibid. hal. 9.

[3] Dalam kerangka ini Hans Kelsen menyatakan, “… jika suatu undang-undang valid maka undang-undang itu bisa valid hanya karena undang-undang tersebut sesuai dengan konstitusi; undang-undang tidak bisa valid jika bertentangan dengan konstitusi. Satu-satunya dasar validitas suatu undang-undang adalah bahwa undang-undang tersebut telah dibuat menurut suatu cara yang ditetapkan oleh konstotusi. (Hans Kelsen, General Theory of Law and State (terjemahan), (Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2006), hal. 223. Lihat juga Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 126.

[4] Op.Cit. hal. 13.

[5] Ibid. hal. 16-20. Lihat Leonard W. Levy (editor), Judicial Review (terjemahan), (Bandung: Nuansa, 2005). Lihat Harun Alrasid, Hak Menguji dalam Teori dan Praktek, makalah tidak diterbitkan. Lihat juga Zaenal Arifin Mochtar, Konsep Judicial review dan Isyu Judicial Activism Bagi Indonesia (Komparasi Pengalaman Amerika Serikat, Australia, Jerman, Korea Selatan dan Afrika Selatan), makalah tidak diterbitkan.

[6] Hans Kelsen, dalam Op.Cit. hal. 225.

Published by

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: