Menjelang pelaksanaan pemilu presiden 2009 kembali mencuat isu neoliberalisme, sebagai satu ideology kekinian yang dianut oleh banyak negara di dunia. Baik para pendukung maupun penentangnya masing-masing memiliki argumentasi mengapa membela atau menolak ideologi ini. Indonesia sendiri dikenal sebagai salah satu negara penghamba neoliberal, terutama bilamana dilihat dari kebijakan dan langkah-langkah strategis yang diambil para pemimpin politik. Neoliberalisme identik dengan mengguritanya globalisasi, yang dikendalikan oleh tiga instrument penyokongnya, IMF, Bank Dunia dan WTO, sebagai sebuah trinitas tak suci (unholly trinity). Tulisan ini mencoba menguraikan posisi WTO sebagai salah satu instrument neoliberal, dan tentang globalisasi neoliberal itu sendiri.
Berdirinya WTO menghendaki adanya sebuah keterbukaan antar pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan internasional, sehingga akan dapat dihindari perilaku-perilaku curang diantara mereka.[1] Akan tetapi, pada kenyataannya, pendirian WTO justru sekedar dimanfaatkan oleh segelintir kelompok dan negara saja. WTO terlalu didominasi oleh kepentingan korporasi-korporasi besar dan Negara-negara Maju, untuk menekan Negara-negara Dunia Ketiga. Hal ini berakibat pada terjadinya kesenjangan yang teramat curam antara Negara Maju dan Negara Berkembang. Segelintir Negara Maju menjadi sangat kaya raya, sedangkan banyak Negara Berkembang semakin terjerumus ke jurang kemiskinan dan kesengsaraan yang memilukan. Negara-negara Maju sebagai pendukung utama WTO, secara terus-menerus memelintir realitas sosial, demi melegitimasi dan mengokohkan berbagai kepentingan kekuasaan mereka. Upaya ini dilakukan dengan menyodorkan berbagai macam agenda pembicaraan pada setiap pertemuan WTO, dengan dalih untuk memperbaiki sistem yang dikatakan telah berlaku tidak adil. Selanjutnya, hasil perundingan tersebut mereka bungkus dengan suatu perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mereka—Negara Maju, dengan lantang juga memberikan berbagai pernyataan kepada publik, yang memberikan basis legitimit bagi bangunan-bangunan teoritik tawaran mereka. Mulai dari perbaikan kesejahteraan, pengentasan kemiskinan, keadilan dalam perdagangan, dll.[2] Padahal, mayoritas dari tawaran tersebut adalah sebuah keniscayaan dan berisi serangkain janji keadilan yang semu belaka.
Keinginan untuk merevitalisasi GATT menjadi WTO, muncul semenjak keruntuhan Mahzab Keynesian yang telah berjaya lebih dari tiga puluh tahun. Ideologi ekonomi baru, yang menggantikan ajaran Keynes, mengajarkan kepada Negara-negara Maju untuk menempatkan kebebasan di atas segala-galanya. Segala campur tangan negara harus segera dilenyapkan. Selanjutnya peran negara—sebagai nation state, diambil alih lembaga ekonomi keuangan internasional (IMF, Bank Dunia, WTO), korporasi-korporasi besar transnasional, dan segelintir Negara Maju dengan nafsu kapitalistik sangat besar.[3] Lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan internasional ini, bermain-main dengan senjata “perjanjian internasional,” untuk mengikat, mengancam, dan menjebak Negara-negara Dunia Ketiga. Sistem baru ini dikenal dengan istilah “Neoliberalisme.”[4]
Neoliberalisme merupakan penjelmaan kembali paham liberalisme klasik dalam jasad dan ruh yang baru. Oleh karenanya, menjadi sulit melakukan pembahasan terhadap neoliberalisme, jikalau kita tidak menyinggung apa itu liberalisme. Paham liberalisme berkonotasi luas, dapat mengacu pada paham ekonomi, politik, dapat pula berkait dengan gagasan agama. Namun demikian, dalam diskursus ini, liberalisme dimaksud ialah terkait dengan liberalisme ekonomi. Pada pokoknya paham ini memperjuangkan leissez faire (persaingan bebas), yaitu paham yang memperjuangkan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan individual. Di mana mereka lebih percaya pada kekuatan pasar untuk menyelesaikan masalah sosial, ketimbang melalui metode regulasi negara. Kata neo dalam neoliberalisme, sesungguhnya merujuk pada bangkitnya kembali bentuk baru aliran ekonomi liberalisme klasik, yang pada awal mulanya dibangkitkan oleh ekonom Inggris Adam Smith, dalam karyanya yang berjudul The Wealth of Nations (1776).[5] Pemikiran Smith menggagas penghapusan intervensi pemerintah dalam ekonomi. Menurut Smith, seharusnya pemerintah membiarkan mekanisme pasar bekerja, melakukan proses deregulasi, melalui segenap pengurangan restriksi pada industri, mencabut semua rintangan birokratis perdagangan, bahkan berupaya untuk menghilangkan tarif bagi perdagangan, demi menjamin terwujudnya free trade. Perdagangan dan persaingan bebas adalah cara terbaik bagi ekonomi nasional untuk berkembang. Dengan demikian, liberalisme di sini berkonotasi “bebas dari kontrol pemerintah,” atau kebebasan individual untuk menjalankan persaingan bebas. Termasuk kebebasan bagi kaum kapitalis untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Akan tetapi, konsep Smith akhirnya runtuh saat bencana depresi besar (the great depression) di tahun 1930-an melanda Eropa.
Bencana ini melahirkan mesias berikutnya, seorang ekonom Inggris, John Maynard Keynes. Keynes tampil dengan pemikiran alternatif terhadap paham liberal. Ia mengembangkan teori yang menantang kebijakan liberalisme. Gagasannya justru menyatakan, bahwa “full employment” buruh harus dipertahankan, karena berperan strategis bagi perkembangan kapitalisme. Karenanya, intervensi pemerintah dan bank sentral harus dilibatkan guna menciptakan lapangan kerja.[6] Sejak berkembang pemikiran Keynes, peran negara dalam bidang ekonomi kian menguat, dan menenggelamkan paham liberalisme. Namun krisis kapitalisme yang terjadi dalam periode berikutnya, sebagai akibat dari terbentuknya konsorsium negara-negara penghasil minyak (OPEC), berimplikasi pada melambungnya harga minyak dunia. Efeknya, tingkat keuntungan yang bisa dinikmati perusahaan transnasional dan Negara-negara Maju menjadi semakin berkurang. Proses ini berimbas pada jatuhnya tingkat akumulasi kapital mereka. Kejadian ini kian meneguhkan tekad korporasi besar untuk kembali ke sistem liberal. Pada akhirnya, melalui metode “corporate globalization,” mereka berhasil merebut kembali ekonomi, dan mengembalikan paham liberalisme, bahkan dengan skala global dan dalam strategi gerakan yang lebih masif.
Pada mulanya, neoliberalisme dikembangkan melalui “konsensus” yang dipaksakan. Yakni apa yang disebut dengan “the Neoliberal Washington Consensus.” Konsensus ini berisi kesepakatan dari para pembela ekonomi privat, terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar (TNC’s/MNC’s), untuk mendominasi informasi kebijakan dalam membentuk opini publik secara global. Pokok-pokok pikiran yang ingin dikembangkan oleh paham neoliberalisme dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, biarkan pasar bekerja, artinya berikan kepercayaan yang sebesar-besarnya pada perusahaan swasta (private enterprise) untuk bebas bekerja, terlepas dari intervensi negara atau pemerintah, apapun akibat sosialnya. Termasuk di dalamnya keterbukaan terhadap perdagangan internasional dan investasi. Kedua, pangkas semua anggaran negara yang tidak produktif (efisiensi), diantaranya subsidi untuk pelayanan sosial, seperti anggaran pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial lainnya. Ketiga, perlunya deregulasi ekonomi, regulasi negara harus dikurangi, demi terciptanya kebebasan ekonomi, sebab regulasi selalu mengurangi keuntungan. Keempat, perlunya privatisasi, jual semua perusahan negara kepada investor swasta, dengan alasan efisiensi dan mengurangi korupsi. Hal ini telah berakibat pada mahalnya harga kebutuhan dasar yang harus ditanggung rakyat kecil. Kelima, petieskan semua paham sosial atau komunitas, ganti dengan paham tanggung jawab individual.[7] Terkait dengan upaya memasifkan program-program di atas, kelompok Washington Consensus kemudian berusaha mempelopori terbentuknya suatu lembaga internasional, yang mempunyai kewenangan untuk mengatur seluruh kegiatan perdagangan dunia, guna mempercepat proses liberalisasi dan privatisasi, serta mengatur secara mutlak arus-arus finansial.[8]
Berbagai desakan dan kepeloporan dari Negara-negara Maju, untuk merevitalisasi GATT, dan menciptakan sistem perdagangan internasional yang lebih adil, memaksa GATT untuk segera mengadakan putaran perundingan baru. Atas kepeloporan ini, berhasil terselenggara beberapa kali putaran perundingan, dalam upaya membentuk sebuah institusi perdagangan internasional yang lebih masif—versi Negara Maju—.[9] Putaran terakhir perundingan dikenal dengan perundingan “Uruguay Round.” Perundingan ini dimulai sejak 1986, pertama kali bertempat di Punta Del Este, Uruguay. Dalam Uruguay Round tidak hanya dibahas masalah perdagangan internasional, tetapi juga membahas agenda-agenda Negara-negara Maju, yang dianggap terkait dengan perdagangan internasional. Uruguay Round diakhiri April 1994 di Marrakesh, Maroko, yang ditandai dengan ditandatanganinya dokumen Agreement Establishing The World Trade Organization.[10] Berkait hal ini, J. Soedrajad Djiwandono, memberi komentar:
…bahwa Uruguay Round tidak boleh gagal. Uruguay Round diselenggarakan karena disadari perlunya diadakan perubahan yang mendasar secara global mengenai aturan main perdagangan dunia. Berbagai negara berharap dapat diselenggarakannya perundingan untuk mengubah aturan main tersebut agar dapat menjamin terpeliharanya perdagangan antarbangsa yang lebih terbuka lagi untuk kesejahteraan masyarakat di seluruh dunia.[11]
Tujuan yang ingin dicapai dari revitalisasi GATT, menurut para founding fathers GATT adalah memenuhi aspirasi/keinginan untuk:
- Menerapkan keterbukaan dalam kegiatan ekonomi seperti yang terjadi pada abad 19;
- Mencegah terulangnya fragmentasi, stagnasi, ketegangan dan pertentangan pada tahun 1930-an.[12]
Dari statement di atas, terang dapat ditarik simpulan, bahwa salah satu faktor pendukung dan penyebab utama berdirinya WTO, adalah upaya kritik dan serangan terhadap eksistensi Mahzab Keynesian, yang dianggap menimbulkan banyak friksi, tidak mendukung penumpukan keuntungan sebesar-besarnya, dan membuat negara terlalu banyak campur tangan dalam perputaran modal. Para pendiri WTO banyak terilhami oleh pemikiran liberalisme klasik abad 19, sebuah masa kejayaan kapitalisme (the highest stage of capitalism), yang dimanifestasikan dalam wujud imperialisme.[13] Model imperialisme dalam wujud yang lebih arif dan simpatik itulah yang diinginkan para pengusul berdirinya WTO—Negara Maju dan TNC’s/MNC’s—. Mereka menginginkan kembalinya liberalisme (neo-liberalisme) dalam sistem perdagangan internasional. Substansi yang sama antara liberalisme dan neo-liberalisme (bahkan lebih masif) inilah yang sebenarnya patut untuk dikritik dan ditentang secara keras. Sebab, pada intinya yang diinginkan Negara-negara Maju melalui WTO, adalah penjajahan kembali Negara-negara Dunia Ketiga (neo-liberalisme = neo-imperialisme).
Pada perkembangannya, ekonomi versi neoliberal makin diterima secara luas, terutama pascaruntuhnya rezim komunis Rusia dan Eropa Timur. Semenjak itu, setidaknya ada tiga perkembangan signifikan globalisasi pembangunan ekonomi atau ekonomi neoliberal, yaitu: 1) semakin pesatnya internasionalisasi perdagangan dan finansial, 2) meningkatnya kekuatan TNC’s/MNC’s, dan 3) kian menguatnya pengaruh institusi IMF, World Bank dan WTO.[14]
Gurita Globalisasi Neoliberal
Semenjak ditandatanganinya kesepakatan mengenai perdagangan dan tarif, GATT, pada April 1994 di Marrakesh, Maroko, maka secara resmi muncullah sebuah era baru, era perdagangan bebas, yang sangat identik dengan globalisasi. Meskipun sebenarnya istilah ini sudah lumayan usang, namun kosakata globalisasi kini menjadi mantra yang mampu menghipnotis banyak orang. Banyak orang menganggap, globalisasi identik dengan perkembangan teknologi. Begitu mendengar istilah globalisasi pastilah kita selalu mengasosiasikannya dengan teknologi informasi, perusahaan multinasional, dan komunikasi via satelit.[15] Sedangkan kalangan pemerintah, sering berkoar-koar bahwa globalisasi membawa berkah berupa modal asing, yang kemudian menjelma menjadi lapangan pekerjaan.[16] Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan globalisasi? Pada bagian ini, akan sedikit dijelaskan mengenai pengertian dari peristilahan globalisasi yang sering diperbincangkan orang itu, tentunya tidaklah sempurna, sebatas pengetahuan penulis dalam berburu dan merangkai pendapat dari beberapa orang ahli, yang berasal dari beberapa disiplin ilmu. Secara etimologi, globalisasi berarti pengglobalan atau proses masuk ke ruang lingkup dunia. Held menafsirkan globalisasi sebagai hubungan keterkaitan (interconectedness) dan saling ketergantungan antar benua yang berbeda, dalam berbagai aspek, dari kriminal hingga aspek budaya, dari keuangan hingga aspek spiritual.[17] Selanjutnya Mansour Fakih mengatakan, globalisasi adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam sebuah sistem ekonomi global.[18] Sedangkan menurut Wellerstein, globalisasi adalah proses pembentukan sistem kapitalis dunia.[19] Menurut tafsiran fenomenologisnya, globalisasi berarti;
“…pemadatan dunia dan intensifikasi kesadaran dunia sebagai satu keseluruhan atau intensifikasi relasi-relasi sosial seluas dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa di satu tempat ditentukan oleh peristiwa lain yang terjadi bermil-mil jaraknya dari situ dan sebaliknya, atau meningkatnya jejaring interdependensi antar umat manusia pada tataran benua-benua.[20]
Globalisasi sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke lima belas. Yakni semenjak dimulainya penjelajahan bangsa-bangsa Eropa untuk mencari dunia baru, dalam kerangka imperialisme kuno. Pada perkembangannya, globalisasi mengalami transformasi bentuk, wujud, ukuran dan tujuan, meski masih dalam taraf kemiripan. Dalam dekade terakhir kata globalisasi tidak hanya menjadi konsep ilmu pengetahuan sosial dan ekonomi, tetapi juga menjadi jargon politik, ideologi pemerintah, dan hiasan bibir masyarakat awam di seluruh dunia.[21] Globalisasi memang menjanjikan kesejahteraan bagi umat manusia, akan tetapi dalam praktiknya, globalisasi malah banyak menimbulkan ketidakadilan sosial, sebab secara ideologis, globalisasi sebenarnya berakar dari faham neoliberalisme. Globalisasi dimengerti sebagai hegemoni negara-negara modal terhadap Negara Dunia Ketiga. Guna membenarkan eksistensi dari proses global ini, secara politis globalisasi didukung oleh ideologi pasar bebas, di mana modal, tenaga kerja, dan komoditas perdagangan, bergerak tanpa hambatan fiskal antara satu negara dengan negara lainnya.[22] Secara legal formal, proses ini diperkuat oleh lahirnya IMF, Bank Dunia, dan WTO. WTO bertindak sebagai institusi utama proyek globalisasi, organ ini dimaksudkan untuk mengatur sistem perdagangan internasional secara masif, dengan tujuan untuk meliberalisasi pasar. Upaya ini dilakukan melalui dorongan kuat kepada anggota-anggotanya untuk terintegrasi ke dalam pasar bebas.[23] Melalui WTO, Negara Maju memaksa Negara Berkembang untuk menerapkan kebijakan atau ideologi globalisasi dalam kebijakan nasional mereka. Agar supaya negara pemilik modal bisa dengan leluasa mengeksploitasi sumber-sumber ekonomi yang ada di Negara-negara Dunia Ketiga tersebut.[24] Pada hakikatnya, globalisasi sangatlah identik dengan penjajahan/imperialisme. Sebab kosakata penjajahan kiranya sudah tak seksi lagi di abad 21 ini, maka negara kolonialis memilih kosakata globalisasi untuk bersembunyi dibalik penjajahan mereka. Globalisasi adalah suatu proses yang sangat tidak adil dengan distribusi keuntungan maupun kerugian yang tidak adil pula, sebab ciri utama globalisasi ialah peningkatan konsentrasi monopoli berbagai sumberdaya dan kekuatan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan transnasional, lembaga-lembaga ekonomi keuangan internasional dan negara-negara pemilik modal.[25]
[1] Secara umum tujuan didirikannya WTO, sama halnya dengan tujuan diadakannya Perundingan Uruguay Round, yaitu untuk menciptakan sistem perdagangan internasional yang lebih bebas dan adil dengan tetap memperhatikan kepentingan Negara-negara Berkembang pada khususnya.
[2] Bahwa theory is always for someone and for some purpose, sebagaimana dikatakan Gramsci bahwa teori-teori positivisme diciptakan untuk memperkuat atau memberi legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan dan tindakan yang diambil oleh sekelompok kekuatan yang mendominasi (penguasa, bisa berupa modal dan kekuasaan). (Lihat Antonio Gramsci, The Prison Notebooks, 1971; Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, 2002).
Pada dekade 1970-an hingga 1990-an banyak Ilmuwan sosial dengan dukungan dari negara menyelenggarakan berbagai penelitian, seminar dan lokakarya, yang membicarakan bagaimana supaya ilmu sosial bisa relevan bagi pembangunan (Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae, ed, Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, (Jakarta: Equinox Publishing, 2006), hal.10. Model seperti ini pula yang digunakan oleh WTO untuk menancapkan akar-akarnya, hasil-hasil penelitian Bank Dunia dan IMF dengan data statistik yang empiris digunakan dalih dalam menawarkan berbagai macam kebijakan (ramuan resep) guna perbaikan ekonomi dan perdagangan internasional khususnya. Seperti hasil penelitian terakhir Bank Dunia soal angka kemiskinan struktural di Indonesia, yang dijadikan dalih oleh pemerintah untuk melakukan impor beras. Kebijakan semacam ini mendapat banyak dukungan dari para ilmuan sosial, lihat saja Muhamad Ikhsan, Chatib Basri, dan beberapa ekonom UI lainnya, yang menggunakan hasil risetnya sebagai basis teoritis kampanye ekonomi pasar—pengurangan intervensi negara.
[3] I. Wibowo, Emoh Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara, (dalam I.Wibowo dan F. Wahono (ed), Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras, 2003), hal. 265-294.
[4] Pada dasarnya, “neoliberalisme” menolak kebebasan (liberalisme dalam ranah dan pengertian yang lain), sebab kebebasan dianggap mengganggu berjalannya pasar bebas, neo-liberalisme lebih mengajarkan kebebasan pada sektor ekonomi dan finansial, sedang kebebasan di sektor lain dikembangkan hanya untuk membantu perkembangan kebebasan sektor ekonomi dan finansial. Lihat B. Herry Priyono, Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan, Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 November 2006.
[5] Adam Smith menyelesaikan karyanya “The Wealth of Nations” dalam waktu 1777 hari, pemikiran ini memperkukuh filsafat individualistis, yang sebelumnya telah berkembang dalam golongan merkantilis. Smith dengan analisisnya, berhasil menghancurkan pemikiran yang didasarkan pada etika Kristen paternalistik (Christian Paternalistic Ethic) yang berasal dari abad pertengahan di Eropa Barat, etika ini menentang egoisme dan pengumpulan harta dengan rakus. Pemikiran Adam Smith mendapat legitimasi dari Etika Kristen Protestan, yang hadir bersamaan dengan lahirnya liberalisme klasik, etika ini memberi legitimasi keagamaan pada filsafat individualistis yang dikemukakan Adam Smith (Sritua Arif, 1982). Lengkapnya lihat Weber, The Protestan Ethic and Spirit Capitalism. Teori Adam Smith selanjutnya dikembangkan oleh David Ricardo, dalam teori keunggulan komparatif (comparative advantage), seperti dijelaskan dalam bukunya Principles of Political Economy and Taxation, tahun 1817.
[6] Noreena Hertz, The Silent Take Over, Global Capitalism and Death of Democrazy (terj), (Yogyakarta: Alinea, 2005), hal. 17-47.
[7] Kelompok ini dikenal sebagai kelompok Kanan Baru (the New Right), sebagai kubu the Washington Consesus (WC). Kubu ini mempromotori penghapusan semua kontrol atas aliran finansial global, mempropagandakan privatisasi, serta mendesak bahwa semua hambatan kuota harus diganti dengan tarif. Kubu ini mendapat tantangan berat dari penganut Structuralist Syntesis (SS). Kubu SS menyatakan bahwa privatisasi tidak dengan sendirinya berarti meningkatkan produktivitas, dan FDI (foreign direct investment) belum tentu lebih efektif dalam membuat perubahan teknologi (technical change), daripada perusahaan dalam negeri. Reformasi perdagangan lewat tarif tidak dengan sendirinya akan lebih unggul dibandingkan dengan penetapan kuota. Kubu SS percaya bahwa, liberalisasi sektor keuangan hanya akan membuahkan ketidakstabilan. Dengan demikian, perubahan kebijakan ekonomi harus dilakukan secara bertahap—bukan secara radikal—dengan mempertimbangkan peran kelembagaan di masing-masing negara (Steger 2001, Stiglitz 2002). Setidak-tidaknya diantara keduanya terdapat empat ketidaksepahaman, yaitu: (1) Reformasi perdagangan; (2) Privatisasi dan investasi asing; (3) Liberalisasi sektor finansial; dan (4) Deregulasi pasar tenaga kerja.
[8] B. Herry Priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme, (dalam I.Wibowo dan F. Wahono (ed), Op.Cit), hal. 47-84. Lihat James Petras dan Henry Veltmeyer, Globalization Unmasked (terj), (Jakarta: Caraka Nusantara, 2001), hal.101-116.
[9] GATT yang disepakati tahun 1947 menjadi cikal bakal dari berdirinya WTO. Misi dari GATT adalah untuk mengurangi hambatan yang ada dalam perdagangan, baik hambatan tarif maupun non tarif. Mekanisme itu dilakukan dengan cara mengadakan putaran perundingan multilateral. Tercatat ada tujuh kali putaran perundingan sebelum terbentuknya WTO, dan yang terpenting dari ketujuh perundingan tersebut adalah Putaran Tokyo dan Uruguay Round. Putaran perundingan lainnya terdiri; Geneva Round (1947), Annecy Round (1949), Torguay Round (1950-1951), Geneva Round (1956), Dillon Round (1960-1961), Kennedy Round (1964-1967).
[10] Hira Jhamtani dan Lutfiyah Hanim, Petani dan Pertanian di Era WTO, dalam Jurnal Wacana No. IV, Tahun 1999, (Yogyakarta: Insist Press), hal. 60-62.
[11] J. Soedrajad Djiwandono dalam pengantar H.S. Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, (Jakarta: UI Press, 2002), hal. vi. J. Soedrajad Djiwandono seorang ekonom masa Orde Baru, adalah Ekonom FE UI yang mendapat beasiswa dari Ford Foundation untuk belajar di Universitas Wisconsin. Walaupun tidak memperoleh pendidikan di University California Berkeley, namun Sudradjad dianggap sebagai bagian dari Mafia Berkeley, yang menjadi teknokrat ekonomi Orde Baru. Soedjradad menjadi orang yang sangat kaku dalam menerapkan teori-teori yang diperolehnya di Amerika, akibatnya pandangannya menjadi sangat AS sentris. Keaktifan Indonesia dalam Uruguay Round, juga sangat dipengaruhi oleh intervensi dari Mafia Berkeley tua. H.S. Kartadjoemena, Ketua Delegasi Indonesia dalam perundingan Uruguay Round, adalah orang yang sangat terpengaruh oleh pemikiran Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Mohamad Sadli, dan Soebroto, kesemuanya adalah ekonom UI yang memperoleh bea siswa dari Ford Fondation generasi pertama, untuk belajar UC Berkeley. Sebagaimana diketahui Widjojonitisastro adalah seorang teknokrat nomor satu ekonomi Orde Baru dan ‘Bos Mafia Berkeley.’ Seluruh kebijakan ekonomi Orde Baru menjadi bagian dari rancang pikir ekonom ini. Dari analisis ini bisa disimpulkan, bahwa keterlibatan dan keaktifan Indonesia dalam mendukung GATT-WTO tidak terlepas dari preassure ekonom-ekonom Indonesia berpikiran Amerika, karena memang membawa kepentingan AS dan sekutunya. (Goenawan Mohamad, Celebrating Indonesia: 50 Tahun Ford Foundation Indonesia, (Jakarta: Ford Fondation Indonesia dan Equinox Publishing, 2003), ditambah beberapa kali diskusi dengan Revrisond Baswier, seorang ekonom FE UGM).
[12] Ibid, hal. 9.
[13] Vladimir Illich Lenin, Imperialism: The Highst Stage of Capitalism, (London: Lawrence & Wishart, 1939).
[14] Manfred. B. Steger, Globalism, The New Market Ideology (terj), (Yogyakarta: Lafadl Pustaka, 2005), hal. 38-53.
[15] Wahyudi, Runtuhnya Kearifan Budaya Indonesia, (Jawa Pos, Sabtu, 5 Agustus 2006), hal. 4.
[16] B. Hari Juliawan, Keretaku Tak Berhenti Lama, (Majalah Basis No. 05-06, Tahun ke-53, Mei-Juni 2004), hal. 5.
[17] David Held, Global Transformation: Politics, Economics and Culture, (California: Stanford University Press, 1999), hal. 100.
[18] Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembanguinan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press, 2001), hal. 198-200.
[19] Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global, dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardoyo, Problem Globalisasi: Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama, (Surakarta: UMS Press, 2001), hal. 3. Dikutip dari R. Robertson, hal. 14.
[20] B. Hari Juliawan, Op. Cit., hal. 6. Sebagaimana disarikan dari (R. Robertson, Globalization Social Theory and Global Culture, London: Sage, 1992, hal. 8), (A. Giddens, The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity, 1990, hal. 64), dan (R.O. Keohane and Joseph S. Nye, Globalization: What’s New? What’s Not? And So what?, Spring, 2000, hal. 105).
Secara lebih utuh Roland Robertson mendefinisikan globalisasi sebagai hubungan antara penduduk bumi yang melampaui batas-batas konvensional, seperti bangsa dan negara, dalam proses tersebut dunia telah dimampatkan (compressed) serta terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai kesatuan utuh (Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, 2001).
[21] Didik J. Rahbini, Mitos dan Implikasi Globalisasi Catatan untuk Bidang Ekonomi dan Keuangan, dalam pengantar Paul Hirst dan G. Thompson, Globalisasi Adalah Mitos, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal. vii.
[22] F. Wahono dan Kenneth D. Thomas, Globalisasi dan Inisiatif-Inisiatif Lokal, dalam F. Wahono, dkk, Pangan Kearifan Lokal, Keanekaragaman Hayati: Pertaruhan Bangsa yang Terlupakan, (Yogyakarta: Cindelaras dan USC Satunama, 2001), hal.21.
[23] Hira Jhamtani dan Lutfiyah Hanim, Op. Cit, hal. 61.
[24] Menurut definisi OECD,”globalisasi berarti proses penciptaan pasar dan produksi di berbagai negara menjadi terus-menerus bergantung satu sama lain sebagai akibat dari dinamika perdagangan berang dan jasa, gerak kapital dan teknologi” (Hans Kung, Etika Ekonomi Politik Global (terj), (Yogyakarta: Qalam, 2002), hal. 273).
[25] Marti Khor, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan (terj), (Yogyakarta: Cindelaras, 2003), hal. 12-
Leave a Reply