Sembilan parpol dinyatakan lolos ambang batas parlemen (parliamentary treshold) pada Pemilu 2009, sedangkan sisanya terpaksa harus turun gelanggang, tidak dapat menikmati empuknya kursi parlemen. Dengan segala karut-marutnya, sudah pula ditetapkan calon anggota legislatif dan perseorangan calon anggota DPD yang berhak duduk di kursi DPR, DPD, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, periode 2009-2014. Selain itu, untuk mengatasi tingginya angka ketidakpuasan terhadap hasil pemilu, dalam pekan ini MK akan memulai memutus gugatan perselisihan hasil pemilu. Sebagaimana ketentuan Pasal 24C UUD 1945, dan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menjadi wewenang MK untuk memutuskan segala permasalahan yang terkait dengan perselisihan ‘hasil’ pemilu.
Pada Pemilu 2009, dari perkiraan awal 792 perkara perselisihan hasil pemilu yang bakal diterima MK, pada kenyataannya masuk 595 perkara diajukan partai politik, dan 24 perkara dari perseorangan calon anggota DPD. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan Pemilu 2004, dimana MK hanya menerima 479 gugatan perselisihan hasil pemilu, dan hanya 274 perkara yang dianggap memenuhi kriteria untuk disidangkan. Peningkatan jumlah perkara perselisisihan hasil pemilu di 2009, selain dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah parpol yang ikut berkontestasi, tingginya jumlah caleg serta perseorangan calon anggota DPD yang mengikuti pertarungan, juga diakibatkan oleh rumit dan abu-abunya sistem pemilu yang digunakan saat ini.
Kembalinya Kedaulatan Rakyat
Pada pengujian UU No. 10/2008, dalam putusannya MK membatalkan kekuatan mengikat Pasal 214, yang mengatur tata cara penetapan kursi. Selanjutnya untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum), MK mengamanatkan digunakannya mekanisme suara terbanyak dalam penentuan perolehan kursi. Artinya, rakyat diberi kebebasan untuk menentukan sendiri wakilnya di parlemen, tidak lagi mutlak ditentukan parpol. Secara hukum putusan ini menjadi berimplikasi keharusan bagi MK, untuk mengakomodasi perselisihan perolehan kursi antar-caleg, sebagai salah satu objek perkara dalam perkara perselisihan pemilu.
Namun demikian, kekhawatiran akan membludaknya gugatan perselisihan hasil pemilu, bilamana MK membuka ruang perselisihan antar-caleg, menjadikan MK menutup adanya kemungkinan tersebut. Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 PMK 16/2009, MK hanya membagi objek perselisihan hasil pemilu menjadi empat kategori, yaitu: perselisihan terpenuhinya ambang batas perolehan suara 2,5% (parliamentary treshold), perselisihan perolehan kursi parpol peserta pemilu di suatu dapil, perselisihan perolehan kursi parpol lokal peserta pemilu di Aceh, serta perselisihan mengenai terpilihnya calon anggota DPD. Ketentuan tersebut bersandar pada Pasal 74 ayat (2) UU MK, yang menyatakan bahwa objek perkara dalam perselisihan hasil pemilu, hanyalah perselisihan mengenai terpilihnya anggota DPD, penentuan pasangan capres dan cawapres yang masuk putaran kedua, serta perselisihan perolehan kursi parpol peserta pemilu di suatu dapil.
Fakta Konstitusional sebagai Sandaran
Jika kita membuka PMK 14/2008, yang selanjutnya direvisi dengan PMK 16/2009, sesungguhnya dalam Pasal 5 huruf b, secara tegas MK menyebutkan bahwa objek perselisihan hasil pemilu, termasuk juga perselisihan perolehan kursi calon anggota legislatif di suatu dapil, di samping perselisihan perolehan kursi parpol. Dengan dasar mengedepankan pentingnya penyelamatan suara rakyat, sebenarnya MK memiliki precedent untuk membuka objek perselisihan antar-caleg, meski secara normatif menyimpangi ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU MK. Seperti halnya dengan putusan MK dalam perkara perselisihan hasil Pemilukada Jawa Timur. Meskipun dari sudut pandang normatif putusan yang memerintahkan untuk melakukan pemungutan suara ulang, menyimpangi ketentuan Pasal 13 ayat (3) PMK 15/2008 dan Pasal 77 UU MK, tetapi MK sudah tepat dengan memilih fakta konstitusional sebagai alasan utama pengambilan keputusan, tidak sekedar menjalankan fungsi kalkulator. Dan, sesungguhnya PMK tidak membatasi hakim konstitusi dalam mengambil suatu putusan, sebab PMK hanyalah suatu pedoman mengenai tata cara persidangan dan pemeriksaan suatu perkara.
Kursi Caleg (sebagai) Objek Perkara
Dalam perkembangannya, pada saat berlangsungya proses peradilan perselisihan hasil pemilu, muncul tafsir baru atas ketentuan Pasal 5 PMK 16/2009, akibat masuknya sengketa perolehan kursi antar-caleg dalam satu parpol, yang diajukan oleh parpolnya. Menurut MK, perselisihan perolehan kursi caleg di suatu dapil menjadi objek perkara jikalau permohonannya diajukan oleh parpol. Dilihat dari kacamata yuridis, sesungguhnya tindakan ini menyimpangi penegasan Pasal 5 PMK 16/2009 dan Pasal 74 ayat (2) UU MK. Kendati demikian, langkah MK sudah tepat dengan membuka objek perselisihan antar-caleg, demi menyelamatkan mandat rakyat yang ada di dalamnya. Sayangnya, penafsiran ini tidak hadir dari sebelum proses perselisihan hasil pemilu dimulai. Sehingga tidak semua perselisihan perolehan kursi antar-caleg dapat diselesaikan di MK. Selain itu juga menumbuhkan kesan, MK bersikap tidak konsisten dalam membagi objek perkara perselisihan hasil pemilu. Sebab, dalam Pasal 5 huruf b PMK 14/2008, tegas MK menyatakan, bahwa objek sengketa hasil pemilu, termasuk juga perselisihan perolehan kursi caleg di suatu dapil. Persoalan baru lainnya, ialah perselisihan perolehan kursi akibat berubahnya metode KPU dalam menetapkan kursi, yang berimbas pada berubahnya komposisi kursi setelah ditetapkan pada 9 Mei 2009.
MK yang Progresif
Memerhatikan permasalahan yang demikian kompleks dalam pemilu 2009, menjadi kewajiban para pemohon dan termohon, untuk menyediakan alat bukti selengkap dan sedetail mungkin. Termasuk bukti-bukti pelanggaran pidana pemilu, yang sudah diputus incraht di pengadilan umum. Agar MK dapat memberikan putusan yang benar-benar sesuai dengan fakta konstitusional di lapangan. Bagi MK sendiri menjadi keharusan untuk menunjukan independensi, imparsialitas dan kenegarawanannya, serta memberikan solusi konstitusional atas karut-marutnya penyelenggaraan pemilu. Artinya MK musti mengayomi dan memberikan keadilan bagi semua pihak yang merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya dalam penetapan hasil Pemilu 2009. MK dapat melakukan terobosan-terobosan yang sifatnya progresif dalam setiap putusannya, tidak hanya terkurung dalam sekat-sekat yuridis formal, untuk sebuah putusan yang menjaga konstitusionalitas hasil pemilu. Peran MK menjadi sangat penting, dalam menentukan konstitusionalitas hasil Pemilu 2009, yang selanjutnya akan memberi legitimasi dan basis konstitusional bagi pemerintahan baru, hasil Pemilu 2009.[ ]
Leave a Reply