Fenomena ketidakpuasan jamak menghinggapi proses dan hasil Pemilu 2009. Ketidakpuasan terjadi sebagai akibat kisruh dan ketidakmatangannya persiapan penyelenggaraan hajatan demokrasi ini. Yang kemudian berimplikasi pada morat-maritnya keseluruhan pelaksanaan tahapan pemilu, khususnya tahapan pemungutan suara yang menjadi inti pemilihan umum. Namun demikian, pastinya pemilu sebagai sebuah mekanisme electoral democracy telah terlaksana, dan beragam persoalan yang menyelimutinya menjadi satu pijakan bagi kita untuk meneropong masa depan Indonesia pasca-pemilu 2009. Satu hal yang patut menjadi perhatian kita bersama, adalah bagaimana komitmen pemerintahan baru—eksekutif dan legislative—hasil Pemilu 2009, terhadap upaya pemajuan, pemenuhan dan penegakkan hak asasi manusia.
Hak asasi manusia telah menjadi komitmen bersama seluruh umat manusia di dunia, sebagaimana dituangkan dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948. Indonesia pun telah mengakuinya sebagai norma dasar bangsa ini, seperti ditegaskan dalam UUD 1945, sehingga negara memiliki kewajiban (state obligation) guna memerjuangkan pemenuhannya. Sejarah kelam hak asasi manusia yang dialami bangsa ini setidaknya bisa menjadi satu catatan bagi seluruh komponen negara, untuk tidak lagi mengenyampingkan dan menganaktirikan pentingnya pemenuhan hak asasi manusia bagi seluruh massa rakyat Indonesia.
Dari sisi normatif dan jaminan yuridis bagi upaya penegakkan HAM, pun sudah banyak regulasi dihasilkan dan ditetapkan, baik yang sifatnya nasional, maupun ratifikasi terhadap instrument-instrument pokok internasional hak asasi manusia, diantaranya yang terpenting ialah ratifikasi International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR), serta International Covenan on Economics and Social Rights (ICESCR). Artinya, sudah seharusnya negara serius melakukan kerja-kerja pemenuhan dan penegakkan hak-hak dasar warganegara, sebagaimana telah diamanatkan oleh aturan-aturan formal yang dibentuknya, sebab tidak sekedar untuk dibuat, tetapi juga untuk diimplementasikan. Akan tetapi, meski serangkaian peraturan telah ditetapkan untuk mengawal kerja-kerja tersebut, rupa-rupanya negara belum sepenuhnya tanggap, dan menjadikan keseluruhan kewajiban yang membebaninya, sebagai sesuatu yang musti dilaksanakan.
Lemahnya komitmen dan ketidakseriusan negara dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia dapat kita lihat dari beberapa sudut dan perspektif. Salah satunya ialah sejauhmana negara dalam menciptakan pengaturan dan kebijakan yang sesuai dengan komitmen dasar hak asasi manusia, serta mampu mendorong tegaknya hak asasi. Pengaturan di level undang-undang, yang menjadi produk bersama antara presiden—eksekutif—dan DPR—legislatif—merupakan point penting untuk mengukur dan menilai komitmen negara terhadap HAM. Dilihat dari produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan, dapat dibaca apakah telah sejalan dengan HAM atau justru berpotensi menghambat tercapainya keterpenuhan hak asasi warganegara.
Assessment yang dilakukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), ditemukan hanya terdapat 35 undang-undang atau sekitar 25% dari keseluruhan produk legislasi selama 2005-2008, yang tegas memiliki relasi dengan hak asasi manusia. Dari 35 undang-undang tersebut, 19 atau sekitar 54% diantaranya dianggap mampu memerkuat (strengthening) hak asasi manusia, sedangkan sisanya dikhawatirkan akan menghambat (constraining) upaya pemenuhan hak asasi. Kendati sebagian besar produk undang-undang dianggap mampu memerkuat hak asasi manusia, namun demikan mayoritas diantaranya merupakan produk ratifikasi (pengesahan) perjanjian internasional, dengan perbandingan sepuluh undang-undang ratifikasi dan sembilan undang-undang yang murni hasil pemikiran DPR bersama pemerintah. Artinya, masih minim inisiatif dari negara—pemerintah dan DPR—, untuk menghadirkan undang-undang yang selaras dan harmonis dengan pentingnya penegakkan hak asasi manusia.[1]
Hal di atas tentunya berkontradiksi dengan arah dan kebijakan program legislasi nasional (Prolegnas) 2005-2009, yang salah satu pointnya adalah perlunya pembentukan undang-undang untuk memberikan perlindungan HAM, serta pentingnya ratifikasi konvensi internasional yang diperlukan dalam upaya perlindungan HAM. Temuan tersebut sekaligus menunjukkan ketidakkonsistenan pembentuk undang-undang untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang mampu memerkuat perlindungan hak asasi manusia.[2]
Parlemen Baru Tidak Ada Harapan
Pada awal proses pelaksanaan tahapan pemilihan umum, banyak pihak yang optimis akan masa depan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, pasca-pemilu 2009. Perasaan optimistis ini tentunya bukan tanpa alasan, mengingat banyaknya para pejuang HAM yang ikut berkontestasi dalam pemilu, sehingga diharapkan mampu membawa perubahan signifikan dalam pemerintahan baru nantinya, khususnya pada tingkat pengambilan kebijakan. Akan tetapi melihat kondisi faktual yang senyatanya terjadi, pupus sudah harapan dari beragam pihak tentang cita-cita membaiknya masa depan penegakkan HAM di Indonesia.
Kisruhnya Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilu 2009, yang berimbas pada massifnya masyarakat yang tidak dapat menggunakan hak politiknya, menjadi salah satu permasalahan krusial yang menyebabkan tumbangnya harapan sebagian besar masyarakat, untuk memerbaiki karut-marutnya kondisi penegakkan hak asasi di negeri ini. Pelaksanakan pemilu yang salah satu tujuannya untuk memerbaiki penikmatan hak asasi warganegara, justru dalam prosesnya telah melanggar pemenuhan hak konstitusional warganegara, untuk menggunakan hak pilihnya.
Memerhatikan hasil pemilu 2009, dimana elit-elit politik lama masih mendominasi perolehan suara, untuk kursi legislative periode 2009-2014, menjadikan kita sedikit khawatir atas kondisi lembaga legislative nantinya. Dari Sembilan partai politik yang diprediksikan lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold), tujuh diantaranya adalah partai politik yang telah duduk di parlemen semenjak 2004, dengan komitmen yang rendah terhadap HAM, dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Sedangkan dua partai lainnya, sebagai pendatang baru di 2009, elit-elit politiknya adalah mereka yang memiliki sejarah kelam dalam praktek hak asasi manusia, jadi sulit diharapkan komitmen mereka bagi perjuangan pemenuhan HAM di Indonesia ke depan.
Membaca survey yang dilakukan oleh Setara Institute tentang sejauhmana komitmen partai politik peserta pemilu 2009 terhadap hak asasi manusia, ditemukan kesimpulan lemahnya komitmen partai politik terhadap hak asasi manusia. Hal ini terungkap dari 38 partai politik peserta Pemilu 2009, hanya terdapat 24 partai politik yang menyantumkan hak asasi manusia dalam visi misi partainya, sedangkan sisanya abstain dari term hak asasi. Selain itu, meskipun seluruh partai politik secara umum memiliki visi hak asasi manusia dalam platform partainya, namun pada tingkat praksis politik, kepentingan elit partailah yang dominan, sedangkan perihal hak asasi seringkali terabaikan, dikalahkan oleh politik transaksional elitnya.[3] Dilihat dari janji-janji partai politik selama berlangsungnya tahapan kampanye pemilihan umum, belum juga ditemukan janji dan komitmen partai politik yang secara tegas akan mendorong dan mengupayakan pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia.[4]
Melihat kondisi faktual yang demikan, kecil harapan kita untuk memercayakan dan memberikan ekspektasi cukup besar kepada parlemen baru hasil Pemilu 2009. Tidak ada garansi bahwa mereka memiliki komitmen yang lebih baik terhadap hak asasi manusia, dibandingkan dengan parlemen hasil pemilu periode sebelumnya. Masuknya unsur-unsur selebritas dan politisi-politisi karbitan yang belum terukur integritas dan komitmennya, kian menjadikan besarnya kekhawatiran kita akan minimnya keberpihakan parlemen mendatang terhadap hak asasi manusia. Ke depan, nampaknya masyarakat masih harus berjuang sendiri untuk melakukan pemenuhan hak-hak dasar kemanusiannya, dan berharap negara akan menjalankan kewajiban-kewajibannya terhadap upaya pemenuhan dan penegakkan hak asasi manusia, adalah masih jauh panggang dari api.[ ]
[1] Wahyudi Djafar, Komitmen HAM Produk Legislasi DPR, Jawa Pos, 10 Desember 2008.
[2] Program Legislasi Nasional 2005-2009.
[3] Setara Institute, Laporan Studi Pemetaan tentang Partai Politik dan HAM, 22 Desember 2008.
[4] VIVANEWS, Setara Institute : Isu HAM Tak Muncul dalam Kampanye, 6 April 2009.
Tulisan di atas sebelumnya pernah dimuat dalam Buletin ASASI ELSAM Edisi Maret-April 2009.
Leave a Reply