Meski pelaksanaan Pemilu 2009 berlari kian mendekat, rupa-rupanya perdebatan di level kebijakan kepemiluan belum juga usai. UU 10/2008 sebagai payung pelaksanaan Pemilu 2009 masih tetap ramai menjadi objek gugatan judicial review ke MK. Bahkan parpol yang turut serta membentuk undang-undang tersebut ikut pula mempersoalkan konstitusionalitasnya. UU 10/2008 benar-benar telah memecah belah para pelaku politik ke dalam faksi-faksi yang mereka anggap paling menguntungkan. Perseteruan terjadi pula antara caleg dengan partai politik yang mengusungnya, dua elemen yang seharusnya sinergis satu sama lain.
MK sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution) mencoba mendamaikan perseteruan kepentingan dan pendapat ini, melalui mekanisme uji konstitusionalitas UU 10/2008. Namun upaya MK ini nampaknya justru kian menambah rumit persoalan. Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 yang membatalkan kekuatan mengikat Pasal 214 UU 10/2008, telah membelah suara masyarakat, antara yang sepakat dan tidak sepakat dengan pendapat MK, khususnya terkait dengan upaya affirmative action bagi perempuan dalam politik.
Meskipun dibangun dengan konstruksi untuk mengembalikan daulat rakyat atas kuasa parpol, sebagai langkah menuju demokrasi yang substantive, namun dengan system pemilu Indonesia yang masih menganut system setengah proporsional terbuka, langkah ini justru dapat mendistorsi demokrasi itu sendiri. Putusan ini dikhawatirkan pula akan mengganggu teknis pelaksanaan pemilu 2009, serta ketatanegaraan Indonesia ke depan, khususnya perubahan susunan dan kedudukan DPR.
Kerancauan Teknis Kepemiluan
Agar tidak terjadinya kekosongan hukum (reecht vacuum), pasca-pembatalan Pasal 214 UU 10/2008, MK kemudian membuat norma baru, bahwa penetapan calon terpilih dilakukan berdasarkan perolehan suara terbanyak. MK telah membuka ruang pertarungan bebas (free fight) antar caleg, meski dalam satu parpol. Perolehan kursi akan ditentukan oleh seberapa kuat perjuangan dari masing-masing celeg, untuk memperoleh jumlah suara yang memenuhi BPP. Berlakunya mekanisme suara terbanyak dalam penentuan perolehan kursi menjadikan nomor urut caleg tidak lagi berarti, karenanya secara teknis, seharusnya surat suara juga diubah, tidak lagi menggunakan nomor urut caleg. Penggunaan nomor urut hanya akan menguntungkan caleg dengan nomor urut kecil, karena secara psikologis, pemilih akan lebih memilih caleg yang nomor urutnya di atas, kecuali celeg sudah benar-benar dikenal di daerah pemilihannya. Artinya, penggunaan nomor urut dalam surat suara menimbulkan ketidakadilan antar caleg, dan tidak sejalan dengan prinsip suara terbanyak.
Dalam hal penentuan calon terpilih, jelas yang utama adalah bagi calon yang suaranya memenuhi BPP, artinya calon yang suaranya memenuhi BPP, secara otomatis akan langsung mendapatkan satu kursi. Akan tetapi, karena mekanisme pemberian suara masih membolehkan menyontreng gambar parpol atau nama caleg, dengan pendidikan politik dan sosialisasi pemilu yang minim, sangat dimungkinkan suara akan lebih banyak dilarikan ke parpol. Selain itu, ada pula kemungkinan caleg yang perolehan suaranya melebihi BPP, yang berakibat adanya sisa suara. Dari sini kemudian muncul pertanyaan, bagaimana distribusi suara dari parpol? apakah diberikan kepada caleg yang perolehan suaranya paling mendekati BPP, seperti pada Pemilu 1955, dimana sisa suara diberikan kepada caleg yang perolehan suaranya paling mendekati BPPD (Bilangan Pembagi Pemilih Daftar), atau diberikan sepenuhnya pada mekanisme parpol? Parpol berhak menentukan sendiri distribusi suara tersebut. Kaitannya dengan sisa suara dari caleg yang suaranya melebihi BPP, apakah sisa suara tersebut diberikan ke parpol, untuk selanjutnya didistribusikan, ataukah langsung diberikan kepada calon lain? Atau menjadi suara sampah (wasted) yang tidak memiliki arti. Kerancauan ini, jika tidak segera teratasi tentunya akan berakibat pada kekacauan pelaksanaan Pemilu 2009, belum lagi permasalahan lain yang terkait dengan suara sisa secara nasional dan suara dari parpol yang tidak lolos parliamentary treshould.
Implikasinya bagi DPR
Salah satu fungsi DPR adalah fungsi perwakilan (represntasi), sebagai manifestasi dari kedaulatan rakyat (people souvereignty), artinya daulat rakyat direpresentasikan pada DPR secara kelembagaan, bukan person-person angggota DPR. Namun demikian, bersandar pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, MK kemudian mendalilkan, bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, karenanya pada setiap pemilihan umum, rakyat dapat langsung memilih siapa yang dikehendakinya.
Dengan argumentasi yang demikian berarti pasca-pemilu 2009, kedaulatan rakyat langsung terepresentasikan pada tiap-tiap anggota DPR, tidak lagi DPR secara kelembagaan. Konsekuensinya tiap-tiap anggota DPR langsung mempertanggungjawabkan kinerjanya langsung kepada rakyat, tidak lagi melalui fraksi atau DPR secara kelembagaan. Lebih jauh, dengan model pemilihan seperti sekarang, keberadaan fraksi-fraksi harus ditiadakan, sebab selama ini fraksi berfungsi sebagai alat kontrol parpol di DPR. Fungsi koordinasi cukup dilakukan di tiap-tiap DPP parpol. Selain itu, mekanisme pergantian antar waktu (PAW), yang selama ini sepenuhnya menjadi kuasa parpol, dan selalu membayangi setiap anggota DPR juga mesti ditiadakan, sebab mekanisme tersebut menciderai daulat rakyat. Rakyat yang seharusnya menentukan perlu tidaknya PAW anggota legislative yang mewakilinya.
Restrukturisasi Parpol
Kendati dalam beberapa tahun terakhir terjadi fenomena penurunan kepercayaan masyarakat terhadap parpol, akan tetapi keberadaan parpol sebagai salah satu pilar demokrasi harus tetap dipertahankan. Salah satu fungsi penting dari parpol adalah fungsi rekruitmen politik. Terlepas dari bobroknya kaderisasi parpol, setidaknya parpol telah membantu masyarakat untuk menentukan calon-calon yang berkualitas, karena mekanisme seleksi internal parpol telah berjalan. Secara umum, meskipun rakyat berhak menentukan sendiri wakilnya, namun keberadaan parpol masih diperlukan. Dengan catatan ditempatkan secara proporsional, agar tidak terjadi hegemoni parpol terhadap daulat rakyat.
Kaitannya dengan pilihan menggunakan mekanisme suara terbanyak, walaupun sedikit mengacaukan teknis kepemiluan, setidaknya pilihan tersebut dapat menjadi pijakan untuk menyempurnakan system pemilu Indonesia, model perwakilan, serta momentum bagi parpol untuk merestrukturisasi diri, tidak lagi sekedar menjadi alat mencapai kekuasaan, tetapi juga menjadi wadah pendidikan dan pengkaderan politik masyarakat.(*)
Leave a Reply