Terhitung semenjak ditandangani pada 10 Desember 1948, hari ini telah genap enampuluh tahun Universal Declaration of Human Rights (UDHR) diakui oleh negara-negara di dunia. Kendati Indonesia baru mengaksesi pernyataan tersebut pasca-tumbangnya rezim otoritarianisme Orde Baru, namun sejak negara ini didirikan, konstitusi UUD 1945 pada dasarnya telah secara tegas mengakui pentingnya perlindungan terhadap HAM. Ketegasan ini makin diperkuat dengan empat kali amandemen UUD 1945, yang secara rinci mengatur hak asasi warganegara dan kewajiban negara dalam pemajuan (to promot), pemenuhan (to fulfil) dan penegakkan (to protect) HAM. Selain itu, seiring dengan perkembangan konfigurasi politik kekuasaan, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa intrumen pokok HAM, termasuk International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), pada Oktober 2005.
Indonesia adalah negara yang memiliki sejarah kelam dalam perlindungan HAM, khususnya ketika rezim despotis otoriter Orde Baru berkuasa. Beragam pelanggaran HAM berlangsung pada periode ini, berjuta-juta nyawa manusia melayang untuk menegakkan kekuasaan absolute Orde Baru. Dalam system ketatanegaraan, meski secara formal diakui adanya mekanisme pembagian kekuasaan (distribution of power) ke dalam tiga cabang kekuasaan, legislative, eksekutif, dan yudikatif, namun pada praktiknya kekuasaan mutlak dijalankan eksekutif (executive heavy). Baru pada 1998 bersamaan dengan berhembusnya angin reformasi yang membawa perubahan, terjadi penguatan terhadap terhadap kekuasaan legislative dan yudikatif. Bahkan dominasi kekuasaan yang semula berada di tangan eksekutif, bergeser ke tangan legislative (legislative heavy).
Sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945, DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang (legislasi), penganggaran (budgeting), dan pengawasan (controling). Besarnya kewenangan yang dimiliki DPR, serta bergesernya dominasi kekuasaan ke tangan DPR, menjadikan lembaga ini penting dalam upaya perlindungan HAM. Sehingga layak, ketika setiap orang kemudian menggantungkan harapannya pada kearifan dan kebijaksanaan DPR untuk berpihak pada pemajuan, pemenuhan dan penegakkan HAM.
Keberpihakan atau komitemen DPR terhadap HAM dapat dilihat dari sejauhmana DPR mampu mengimplementasikan amanat konstitusi, khususnya pasal-pasal yang mengatur hak konstitusional warganegara, ke dalam produk perundang-undangan yang dibentuknya. Tolok ukur lain yang dapat digunakan ialah kemampuan DPR dalam menyinergikan produk legislasinya dengan instrument-instrumen pokok HAM yang telah diratifikasi Indonesia, sehingga tidak berkontradiksi dengan instrument pokok HAM tersebut. Pada fungsi penganggaran, komitemen DPR dapat diukur dari sikap DPR dalam memerjuangkan APBN yang pro-human rights, artinya seberapa besar alokasi APBN bagi penguatan hak-hak konstitsuional warganegara. Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, sudut pandang yang dapat digunakan untuk mengukur keberpihakan DPR terhadap HAM, adalah sejauhmana respon DPR terhadap permasalahan yang memiliki relasi dengan perlindungan hak-hak konstitusional warganegara, serta bagaimana tindaklanjutnya.
Khusus dalam pelaksanaan fungsi legislasi, dengan menggunakan tolok ukur di atas, komitmen DPR terhadap HAM dapat dikatakan masih diragukan. Hal ini terbukti dari 141 produk legislasi DPR selama periode 2005-2008, menurut catatan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), hanya ada 35 undang-undang atau sekitar 25%, yang memiliki relasi dengan HAM. Dari 35 undang-undang itu, 19 atau sekitar 54% diantaranya dianggap mampu memerkuat (strengthening) HAM, sedangkan sisanya justru menghambat (constraining) HAM. Namun demikian, dari 19 undang-undang yang dianggap mampu memerkuat HAM tersebut, sebagian besar diantaranya merupakan produk ratifikasi (pengesahan) perjanjian internasional, dengan perbandingan 10 undang-undang ratifikasi dan 9 undang-undang yang murni hasil pemikiran DPR besama pemerintah.
Lemahnya komitmen DPR terhadap HAM juga dapat dibaca dari rendahnya inisiatif DPR dalam mengusulkan pembahasan dan pembentukan undang-undang yang mengupayakan perlindungan HAM, padahal DPR dan pemerintah memiliki ruang yang sama dalam hal inisiatif pembentukan undang-undang. Dari 10 undang-undang ratifikasi perjanjian internasional yang memiliki relasi dengan HAM, keseluruhannya merupakan inisiatif dari pemerintah. Beberapa undang-undang yang lahir dari inisiatif DPR justru berseberangan dengan upaya penguatan HAM, misalnya UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang memiliki maksud dan tujuan mulia, tetapi justru substansinya banyak menyimpangi komitmen HAM. Hal ini tentunya berkontradiksi dengan arah dan kebijakan program legislasi nasional (Prolegnas) 2005-2009, yang salah satu pointnya adalah perlunya pembentukan undang-undang untuk memberikan perlindungan HAM, serta pentingnya ratifikasi konvensi internasional yang diperlukan dalam perlindungan HAM.
Rendahnya produk legislasi DPR yang berpihak terhadap perlindungan HAM, secara umum dapat dikatakan sebagai akibat tingginya politik transaksional antar fraksi, dan minimnya komitmen untuk mengaplikasikan amanat konstitusi dalam sebuah produk legislasi. Apalagi jika kita lihat tingginya angka undang-undang pemekaran daerah otonom, yang mencapai 41% dari total produk legislasi DPR Periode 2004-2009, kian menjadi pertanda kuatnya semangat DPR untuk berbagi kekuasaan antar kepentingan politik yang ada di DPR.
Lemahnya keberpihakan DPR terhadap upaya pemajuan, pemenuhan dan penegakkan HAM, tentunya menjadi kekecewaan kita semua, yang telah menyerahkan seluruh kepercayaan dan harapan pada lembaga perwakilan rakyat ini. DPR sebagai manifestasi dan perwakilan dari seluruh rakyat Indonesia (people’s representative), sudah seharusnya memiliki komitemen serius untuk menciptakan pengaturan yang sejalan dan berorientasi pada penguatan hak-hak konstitusional warganegara, bukan sebaliknya. Senyatanya mereka masih sebatas memerjuangkan kepentingan kelompok tertentu, belum berpihak pada kepentingan masyarakat secara luas. Setidaknya pembacaan ini dapat menjadi salah satu pertimbangan untuk kita, dalam menentukan pilihan pada pemilu mendatang, sekiranya siapakah yang pantas untuk menduduki kursi wakil rakyat?(*)
Tulisan ini dimuta pada Harian JAWA POS, 10 Desember 2008, bertepatan dengan peringatan Hari HAM Internasional #
Leave a Reply