Konsep modern tentang kedaulatan, pertama kali mengemuka pada akhir abad ke enam belas, sebagai tanggapan atas fenomena kemunculan negara teritorial. Gagasan teoritik tentang kedaulatan pada mulanya dikemukakan oleh Jean Bodin, salah seorang pemikir renaissance asal Prancis, pada 1576, melalui karangannya, “Les Six Livres de la Republique.” Bodin menafsirkan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi terhadap warganegara dan rakyat-rakyatnya, tanpa dibatasi oleh undang-undang. Dari penafsiran terlihat jelas, bahwa kemunculan konsepsi kedaulatan adalah berangkat dari fakta politik yang mendasar saat itu, yaitu lahirnya negara. Tentang negara, Bodin banyak merujuk pendapat Aristoteles, ia memaknai negara sebagai keseluruhan dari keluarga-keluarga dengan segala miliknya, yang dipimpin oleh akal budi seorang penguasa yang berdaulat.[1] Negara berbeda dengan masyarakat lainnya, karena adanya summa potestas (kekuasaan tertinggi). Menurut Bodin, salah satu aspek kedaulatan ialah kekuasaan untuk menjadikan hukum sebagai cara untuk mengefektifkan kehendak kedaulatan, karenanya Bodin kemudian menyamakan antara undang-undang dengan hukum.[2] Pemikiran Bodin ini selanjutnya diperkuat oleh Thomas Hobbes, meski dengan memberi beberapa catatan.
Berbeda dengan Bodin, yang menyatakan kendatipun kedaulatan memegang kekuasaan tertinggi, namun kedaulatan dibatasi oleh hukum Tuhan dan hukum alam. Hobbes menegaskan, bahwa tidak ada batasan bagi kekuasan membuat hukum dari kedaulatan. Kedaulatan berada di atas segala-galanya. Artinya, konsepsi Hobbes mengenai kedaulatan adalah rasional dan utilitarian. Kedaulatan murni merupakan hasil dari kepentingan pribadi individu secara rasional, yang menggantikan hasrat tidak rasional.[3] Paham Hobbes sekaligus juga memberikan catatan terhadap pandangan Grotius yang diutarakan sebelumnya. Grotius mengatakan bahwa ikatan hukum alam—hukum antarbangsa/hukum internasional—menjadi pengikat antara negara-negara yang satu dengan yang lain. Terhadap pandangan ini Hobbes membantah, dikatakan, negara-negara satu sama lain itu hidup dalam keadaan alamiah, di mana masing-masing orang membela dirinya terhadap yang lain dengan sebaik-baiknya, jadi menurut Hobbes hukum internasional hanya akan mengikat individu-individu, jikalau diterima oleh sang daulat—penguasa sebagai manifestasi dari kedaulatan.[4] Terhadap perbedaan pandangan ini, Laski (1931) berkomentar, hukum antar bangsa akan menjadi sebenar-benarnya hukum, bila telah mendapat pengakuan dari negara-negara yang menyatakannya sebagai hukum. Hukum itu sendiri tidak memiliki kekuatan mengikat, dia hanya mendapat kekuasaan dari negara-negara yang mengesahkannya sebagai peraturan hukum nasional.[5] Pandangan Laski, terkesan memperkuat argumen yang dikemukakan oleh Hobbes.
Perkembangan signifikan realitas politik dunia, yang ditandai dengan banyak bermunculannya negara baru dan meningkatnya kuantitas hubungan internasional, berakibat juga pada cepatnya perkembangan hukum internasional. Perkembangan ini tentunya dibarengi dengan perubahan konsepsi teoritis yang signifikan pula, sehingga membuka kembali perdebatan tentang posisi kedaulatan dalam kancah hukum internasional yang semakin berkembang. Sebenarnya perdebatan yang terjadi masih memiliki akar yang sama dengan periode sebelumnya, yaitu berkait dengan kedudukan dan relasi antara hukum nasional dengan hukum internasional. Pada masa ini berkembang doktrin, bahwa hukum internasional tidak akan pernah menjadi hukum penduduk (municipal law), namun secara tepat harus diadopsi oleh setiap pemegang kekuasaan untuk setiap kasusnya. Beberapa teori dikemukakan sebagai jawaban atas terjadinya kemelut ilmiah dan politik ini, baik berupa pembelaan, sanggahan maupun kritikan. Serangkaian pendapat itu antara lain; Pertama, gagasan Jellinek yang mengemukakan doktrin pembatasan diri dari negara. Teori ini menyatakan, pada satu sisi negara berdaulat harus tunduk patuh pada ketetapan hukum internasional, namun di sisi lain negara harus patuh pula pada kehendak para individu (warganegara) sebagai manifestasi dari kedaulatan nasional. Konsekuensi dari dua kewajiban tersebut, mengharuskan negara untuk mampu menentukan pilihan, ketika terjadi pertentangan antara kedua kewajiaban tersebut. Karenanya, sebagai bentuk kedaulatan tertinggi, negara dapat menolak patuh terhadap ketetapan dan kebiasaan internasional. Teori Jellinek senada dengan yang dikemukakan oleh Triepel dan Anzilotti. Kelamahan dari kedua teori tersebut ialah adanya keharusan untuk menentukan pilihan pada kondisi tertentu, yang berarti kurang memberikan titik terang atas terjadinya perdebatan. Kedua, teori Del Vecchio, yang menyatakan bahwa kebebasan berkehendak negara, yang merupakan perwujudan dari kedaulatan, telah melahirkan penolakan terhadap prinsip hukum internasional. Di sisi lain, kaidah hukum alam menuntut manusia bersatu sama lain, dan mengakui kesederajatan. Oleh karena itu, Del Vecchio menyarankan penggabungan nyata antara hukum nasional dan hukum internasional, dengan alasan, meskipun kedua sistem hukum mungkin memiliki derajat positivitas yang berbeda, akan tetapi yang terpenting adalah tingkat keefektifannya. Pandangan Del Vecchio ditentang oleh kaum nasionalistis, yang diwakili oleh Erich Kaufmann. Dia mengatakan bahwa kekuatan mengikat dari hukum internasional adalah tidak sesuai dengan kedaulatan negara. Kaufmann meneruskan ajaran filsafat Hegel (filsafat organis), yang menyatakan negara merupakan satuan tertinggi, relasi antar negara dibangun sekedar dari sumbangannya bagi sejarah dunia. Hukum internasional—dalam bahasa Hegel disebut sebagai famili bangsa-bangsa—adalah bukan kenyataan.[6]
Selanjutnya, pandangan dikemukakan oleh Kelsen melalui mahzab monistik-nya. Pandangan Kelsen dimulai dengan pernyataan bahwa kedaulatan adalah satu kualitas tertinggi dari negara, yang berarti negara adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Begitupun tatanan hukum dari negara—hukum nasional—dianggap sebagai tatanan hukum tertinggi, yang tak ada lagi atasnya. Kelsen kemudian mengatakan, satu-satunya tatanan hukum yang dapat dianggap lebih tinggi dari tatanan hukum nasional adalah hukum internasional. Apakah berarti negara menjadi tidak berdaulat? Tidak. Menurut Kelsen hukum internasional, melalui prinsip efektivitasnya, sekedar menentukan bidang dan validitas hukum nasional. Jadi superioritas hukum internasional terhadap hukum nasional hanya pada persoalan isi/substansi hukumnya. Dan hukum internasional hanya valid jika diakui negara yang berdaulat, melalui suatu hukum nasional.[7] Terhadap serangkaian perdebatan tentang konsepsi kedaulatan, Morgenthau memberikan komentar;
Hukum internasional adalah tatanan hukum yang terdesentralisasi dalam dua arti. Pertama, sebagai soal prinsip, atuaran-aturannya hanya mengikat bangsa-bangsa yang menyatakan kesediannya menerima aturan-aturan tersebut. Kedua, kebanyakan aturan-aturannya mengikat karena kesediaan yang dinyatakan adalah demikian kabur dan ambigu, serta sangat dikualifikasikan oleh syarat-syarat dan pengecualian-pengecualian, sehingga membiarkan masing-masing bangsa mempunyai kebebasan bertindak yang sangat luas apabila mereka diminta untuk tunduk pada hukum internasional.[8]
Dalam konteks kekinian, kedaulatan ditafsirkan sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya, dengan catatan tidak bertentangan dengan hukum internasional.[9] Pada awal kelahirannya, kedaulatan dibagi menjadi dua aspek, internal dan eksternal,[10] namun pada perkembangannya aspek kedaulatan berkembang menjadi tiga aspek, sesuai yang ditetapkan oleh hukum internasional, yaitu terdiri dari:[11]
a. Aspek eksetrn kedaulatan, adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain.
b. Aspek intern kedaulatan ialah, hak atau kewenangan eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya, serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.
c. Aspek teritorial kedaulatan, berarti kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut.
Perkembangan terakhir, meski memiliki basis legitimasi yang kuat secara internasional, pada kenyataannya kedaulatan semakin terdistorsi dan terestriksi oleh makin menguatnya badan-badan internasional (terutama lembaga ekonomi keuangan dan dagang internasional, IMF, World Bank, WTO), korporasi-korporasi transnasional (TNC’s/MNC’s), dan dominasi negara-negara super power. Mereka kian meng-alienasi kedaulatan negara-negara merdeka di dunia, terutama Negara-negara Dunia Ketiga.
[1] J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1962), hal. 140-143.
[2] W. Friedmann, Legal Theory (terj), (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 244.
[3] W. Friedmann, Op. Cit., hal.77.
[4] J.J. Von Schmid, Op. Cit., hal. 184-185.
[5] Harold J. Laski, Pengantar Ilmu Politika, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1959), hal. 112.
[6] W. Friedmann, Op. Cit., hal. 244-248.
[7] Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara (terj), (Bandung: Nusamedia, 2007), hal. 539-544.
[8] Hans J. Morgenthau, Politik Antar Bangsa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), hal. 203.
[9] Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2000), hal. 24.
[10] Lihat Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakart: Liberty, 1998), hal. 151.
[11] Boer Mauna. Op. Cit., hal. 24
Leave a Reply