Meksipun badai kritik dan penolakan terus menghujani rencana pengesahan RUU MA menjadi undang-undang, serta sejumlah fraksi di DPR menyatakan belum menyepakati beberapa materi krusial yang masih memerlukan perdebatan panjang, pada akhirnya DPR tetap saja melenggang untuk mengesahkan RUU tersebut. Pengesahan RUU MA yang dipaksakan, semakin menunjukan tingginya penetrasi kepentingan dalam pembahasan UU ini. Tingginya penetrasi kepentingan dan politik transaksional antarfraksi kian terlihat nyata, dari berubahnya sikap beberapa fraksi, yang semula kukuh menolak pengesahan RUU MA, namun di forum paripurna mereka berbalik mendukung pengesahan.
Buruknya proses pembahasan dan materi muatan yang disepakati dalam UU ini, telah membuka kontroversi dari berbagai pihak. Lagi-lagi DPR menciptakan produk perundang-undangan yang memberi celah dilakukannya pengujian. Lalu di mana pintu masuk yang dapat digunakan untuk menguji UUMA?
Setidaknya terdapat dua hal krusial yang bisa menjadi dasar dilakukannya pengujian UUMA. Pertama, terkait dengan proses pembahasannya, yang tidak terbuka, penuh persekongkolan, menafikan partisipasi publik, serta memunculkan kesan kejar tayang untuk menyelamatkan para hakim agung yang akan segera memasuki usia pensiun. Kedua, terkait dengan materi muatannya, yang kontroversial dan tidak sejalan semangat reformasi peradilan, khususnya pembaruan kelembagaan MA. Sehingga, terbuka dua kemungkinan sekaligus untuk menguji UUMA, baik secara formil maupun materilnya.
Pintu Uji Formil
Salah satu fungsi DPR adalah fungsi perwakilan (representative), yang di dalamnya menyangkut dua hal, pertama kehadirin fisik di parlemen, sebagai simbol masyarakat yang diwakilinya (representative in presence), dan kedua representasi yang sifatnya subtantif, berupa penyerapan aspirasi konstituen (representative in ideas). Dalam proses pembentukan UU, fungsi representative in ideas terimplementasikan dengan terbukanya proses pembahasan, sehingga dapat diketahui publik, dan adanya kewajiban penyerapan aspirasi masyarakat. Penyerapan aspirasi ini bisa dilakukan dengan menggunakan wadah Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), atau pun uji publik terhadap RUU yang akan disahkan. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
Kewajiban untuk terbuka dan aspiratif dalam setiap pembentukan UU juga telah diatur secara tersistematis dalam UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 5 Huruf g disebutkan, salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah asas keterbukaan. Selanjutnya dalam penjelasannya dikatakan, keterbukaan dimaksudkan untuk membuka ruang seluas-luasnya bagi seluruh lapisan masyarakat, guna memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Pasal 53 menyatakan, masyarakat berhak memberikan masukan baik secara lisan maupun tulisan, dalam setiap proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan dalam proses pembahasan UUMA, DPR rupa-rupanya telah mengenyampikan serangkaian prosedur pembentukan UU, yang sudah diperintahkan UU 10/2004. Padahal norma yang terkandung dalam UU 10/2004, menurut Jimly Ashiddiqie adalah sebanding dengan norma konstitusi. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22A UUD 1945, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.” Lebih lanjut menurut Jimly Ashiddiqie, dari ketentuan tersebut jelas, bahwa UU 10/2004 adalah bentuk terperinci dan bagian tak terpisahkan dari Pasal 22A UUD 1945. Oleh karena itu, meskipun alat ukur konstitusionalitas prosedur pembentukan undang-undang adalah UUD 1945, akan tetapi karena prosedur rinciannya terdapat dalam undang-undang, maka materi yang diatur dalam UU 10/2004 harus pula dimaknai sebagai hukum konstitusi.
Pintu Uji Materil
Kaitannya dengan materi muatan yang disepakati dalam revisi UUMA, senyatanya ada beberapa pasal krusial yang tidak sesuai dengan keinginan mayoritas konstituen. Khususnya pasal yang mengatur perpanjangan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun. Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), menunjukkan 74,7% responden menyatakan tidak setuju dengan perpanjangan usia pensiun hakim agung. Perpanjangan usia pensiun ini dikhawatirkan akan menghambat regenerasi dan penyelesaian penumpukan perkara di MA, akibat lemahnya kinerja hakim agung yang telah uzur usianya. Perpanjangan usia pensiun ini juga berakibat terjadinya kerugian konstitusional bagi warganegara, khususnya para hakim di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, yang kesempatannya untuk menjadi hakim agung makin terbatasi. Kondisi ini makin diperparah dengan kacaunya system dan politik rekruitmen hakim agung (Kompas, 19/12/08). Usia pensiun 70 tahun juga membuka peluang menguatnya juristrokasi MA, di mana MA hanya akan dikuasai oleh segelintir orang hakim agung.
Pengesahan UUMA juga berpotensi menganggu kinerja KY, khususnya dalam penyelenggaraan seleksi hakim agung. Proses seleksi hakim agung tahap dua yang sedang dilakukan KY, terancam batal di tengah jalan akibat perpanjangan usia pensiun ini. Karena hakim agung yang seharusnya berhenti di awal tahun 2009, masih diperpanjang jabatannya hingga usia 70 tahun. Hal ini tentunya akan berimbas luar biasa bagi melambatnya proses regenerasi di MA. Kerugian konstitusional khususnya dialami para calon hakim agung yang tengah mengikuti proses seleksi di KY. Selain itu, KY yang terganggu kinerjanya akibat pengesahan UUMA, dapat pula dipoisikan telah mengalami kerugian konstitusional. Oleh karena itu, patut bagi para calon hakim agung dan KY untuk mengajukan uji materil UUMA ke MK.
Buruknya Legislasi DPR
Akibat pengesahan UUMA, tujuan pembentukan undang-undang yang seharusnya untuk menciptakan kepastian hukum, justru makin disimpangi. DPR yang seharusnya memberikan perlindungan bagi hak-hak konstitusional warganegara, malah melahirkan pengaturan yang menciderai kehendak konstituen dan menjauhkan akses para pencari keadilan (justitiabelen). Perihal ini kian memerkuat indikator buruknya legislasi DPR 2004-2009, khususnya dilihat dari tingginya produk legislasi yang diajukan judicial review ke MK. Fakta empiris tersebut tentunya layak menjadi bahan pertimbangan kita, untuk menentukan pilihan di 2009, dan anggota legislative yang kian menindas hak-hak warganegara, khususnya yang mendukung pengeshan UUMA, nampaknya harus dipikir dua kali untuk memilihnya.(*)
Leave a Reply