Sudah Waktunya Melindungi “Tukang Kritik”

Published by

on

Sabda tidak lagi terdefinisi sebagai Pandhita Ratu, itulah yang terjadi dalam situasi Indonesia modern saat ini, sebab seringkali para penguasa berperilaku mencla-mencle antara kata dan perbuatan. Coba kalau mau menghitung-hitung sudah berapa banyak Wakil Presiden kita yang terhormat melakukan perbuatan sedemikian. Berapa banyak massa rakyat Indonesia yang telah dikecewakan? Atau model Presiden kita terhormat, yang selalu menyelesaikan suatu persoalan dengan serangkaian retorika bahasa. Suatu persoalan pelik dapat diselesaikan hanya dengan beberapa alur kalimat yang dibungkus kata-kata indah dan disampaikan penuh kharisma, tanpa suatu tindakan konkrit yang bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Syukur, saat ini presiden telah sadar dan mengaku taubatan nasukha terhadap gaya-gaya seperti di atas. Presiden akan lebih tegas dan konkrit –katanya– untuk tahun ke tiga masa pemerintahannya.

Kritik menjadi sebuah konsekuensi dari pemerintahan yang menyalahi amanat rakyat, tidak menyuarakan suara rakyat, dan tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, karena penguasa adalah dipilih oleh rakyat dan kedaulatan (sovereignty) di tangan rakyat. Akan tetapi, sayang, seringkali kritik disalah artikan oleh penguasa. Kritik jamak dimakani sebagai sebuah tindak penghinaan. Kritik tidak dianggap sebagai peringatan atas kelalaian dan membuat penguasa segera sadar, namun yang terjadi pengkritik harus segera diberangus, karena mengganggu manisnya kursi kekuasaan. Sebenarnya wajar ketika demonstran –tukang kritik– meneriakkan perilaku menyimpang penguasa atau mengucap kata-kata pedas atas kelalaian yang telah dilakukan oleh penguasa, kesemuanya adalah sebuah bentuk akumulasi kekecewaan, dan seharusnya tidak bakalan terjadi jika penguasa berjalan sesuai relnya (berdasar konstitusi, memperjuangkan kepentingan rakyat, dan memenuhi janji-janji kampanyenya).

Ada semacam ketakutan (phobia) dari para “tukang kritik” (aktivis pro demokrasi, kalangan masyarakat tertindas) di negeri ini, ketika akan melancarkan kritik pedas terhadap kesewenang-wenangan dan ketidakbecusan penguasa. Mereka selalu dihantui oleh pasal-pasal karet (Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137) KUHPidana, tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Pemberlakuan delik biasa terhadap pasal-pasal ini telah membuat aparat keamanan (POLRI) sering bertindak asal tangkap, pokoknya kalau sebuah demonstrasi sudah membawa-bawa nama presiden dan wakil presiden langsung saja grebek, tangkap, masukkan sel, dan tuntut dengan pasal-pasal haatzai artikelen. Kepribadian kokoh seorang aktivis yang rela untuk mengorbankan jiwa dan raganya untuk kepentingan bangsa dan rakyat, mungkin akan sedikit gentar ketika mendengar ancaman 6 tahun penjara, yang diakibatkan karena melancarkan sedikit caci maki terhadap keburukan kinerja presiden dan/atau wakilnya. Artinya, adalah mati konyol bagi seorang aktivis, sebuah perjuangan panjang harus berakhir dengan 6 tahun penjara, hanya karena satu atau dua kalimat yang diangggap menghina penguasa –menghina versi penguasa– .

Munculnya pasal-pasal haatzai artikelen dalam Wetboek van Strafrecht Nederland tentunya tidak terlepas dari suburnya feodalisme di Eropa, di mana raja dan seluruh keluarganya diposisikan pada suatu tempat yang agung, keturunan orang suci yang mendapat tugas untuk menjalankan pemerintahan di dunia. Oleh karenanya mereka tidak boleh dikritik, dihina, apalagi diserang. Luhurnya feodalisme di daratan Eropa menjadi semakin bertambah kuat dengan adanya legitimasi melalui peraturan perundang-undangan yang ada. Jika diperhatikan, akan ditemukan banyak kesamaan antara KUHPidana yang berlaku di Belanda, Perancis dan Jerman –sesama negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental– (Poernomo, 1976). Hal ini, tentunya terjadi karena adanya suatu kesamaan pandangan –salah satunya pandangan feodalistik–.

Lahirnya semboyan Gold, Glori dan Gospel sebagai langkah maju dari pemikiran liberalisme klasik Adam Smith –berdasar pada filsafat individualistis– yang mendapat dukungan teologis dari Etika Protestan (kebetulan lahir hampir bersamaan dengan lahinrnya Agama Protestan, lihat Weber, The Protestan Ethic and Spirit Capitalism), telah membawa bangsa Eropa pada suatu masa yang disebut dengan imperialisme kuno. Masa imperialisme kuno-lah yang telah mengantarkan bangsa Eropa sampai ke Timur jauh, termasuk Indonesia di dalamnya. Sebagai suatu bentuk dari The High of Capitalism (Lenin, 1900), imperialisme menjadi alat bagi bangsa Eropa untuk melakukan penindasan, perampasan hak, dan segala bentuk ketidakmanusiawian terhadap bangsa terjajah.

Dalam ranah imperialisme dan kolonialisme inilah Wetboek van Strafrecht diterapkan secara konkordansi di bumi Indonesia, termasuk pasal-pasal haatzai artikelan, sebagai wujud proteksi terhadap kehormatan ratu Belanda dan Gubernur Jendral Hindia Belanda. Masuknya Belanda pada 1596, yang selanjutnya melahirkan VOC sebagai sebuah kongsi dagang, yang ternyata tidak hanya menindas secara ekonomi, namun juga menindas dengan kekerasan (militeristis), ikut juga berperan dalam menyuburkan feodalisme di Bumi Nusantara. Raja-raja Nusantara yang sebelumnya dekat dengan kawulanya (rakyat), menjadi semakin menjaga jarak, ini terjadi karena mereka terpengaruh oleh pemikiran feodalistik Eropa, yang secara sengaja memang ditiupkan oleh penjajah (Belanda) untuk menciptakan kelas-kelas di tengah masyarakat Indonesia (politik devide et impera, masyarakat Indonesia selanjutnya terpilah-pilah menjadi golongan rakyat jelata, bangsawan, dan penguasa). Berakhirnya VOC pada akhir abad ke 17 (Ricklefs, 1989) membuat Indonesia (Hindia Belanda) benar-benar menjadi negara jajahan langsung dari negeri Belanda, akibatnya hukum yang berlaku di Hindia Belanda juga harus menyesuaikan dengan hukum yang berlaku di Belanda. Pembagian kelas atau golongan tidak lagi berdasar pada status sosial masyarakat Indonesia, akan tetapi berdasar pada ras (asal usul suku bangsanya). Masyarakat Indonesia dibagi menjadi golongan Eropa (Belanda, dan orang Eropa lainnya), golongan pribumi (masyarakat asli Indonesia) dan golongan timur jauh (China, Arab, India, dan asia lainnya). Sebelum diberlakukannya asas konkordansi dan adanya unifikasi hukum, hukum yang diterapkan pun berbeda-beda, bagi golongan Eropa dan Timur jauh berlaku hukum Eropa (BW dan WvS), sedangkan bagi golongan Pribumi berlaku hukum adat.

Diakhirinya tanam paksa (cultur stelsel) mengilhami lahirnya politik etis, sebagai bentuk balas jasa pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia, atas berbagai macam kekayaan alam bumi Indonesia yang telah dikeruk Belanda. Melalui kebijakan inilah kaum liberal Belanda yang diwakili oleh Van Deventer mengusulkan program praksis politik dari kebijakan politik etis, yakni trias politica Van Deventer, yang terdiri dari irigasi, emigrasi dan edukasi. Perubahan politik di Hindia Belanda dan di negeri Belanda ini kemudian menjadi pemicu atau memberikan stimulan bagi kelompok-kelompok studie club untuk bertransformasi menjadi sebuah partai politik, sebagai ekses dari lahirnya golongan-golongan terpelajar.

Maraknya pergerakan nasional telah memaksa Ratu Wilhelmina untuk menyetujui pembentukan Dewan Rakyat Hindia Belanda (Volksraad) pada abad ke 19. Volksraad berisi tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia, mereka duduk di situ guna memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia, terkadang mereka bersuara keras untuk menentang kebijakan pemerintahan kolonial. Pada situasi seperti inilah pasal-pasal haatzai artikelen diterapkan, anggota-anggota Volksraad yang bersuara keras atau mengkritik pedas pemerintah akan ditangkap dengan tuduhan menghina Guberner Jendral atau Ratu Wilhelmina. Tercatat, pasal-pasal haatzai artikelen paling keras dan paling jamak diterapkan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Bonifacius C. de Jonge (1931-1936), seorang mantan Menteri Peperangan dan direktur Royal Dutch Shell. Jonge menentang semua bentuk nasionalisme, dan tidak ingin melihat Volksraad mempunyai peranan penting. Akibatnya, rapat-rapat politik orang Indonesia seringkali dibubarkan polisi dan para pembicaranya ditangkapi (Ricklefs, 1989).

Setelah Indonesia Merdeka secara politik pada 17 Agustus 1945, ternyata yang dilakukan hanya meng-copy paste peraturan perundang-undangan kolonial, dengan alasan guna menghindari terjadinya kekosongan hukum. salah satu yang di-copy paste adalah Wetboek van Strafrecht, yang diadopsi menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana melalui UU No. 1 Tahun 1946. Celakanya adopsi ini mayoritas hanya memperhatikan kata per kata, tetapi kurang memperhatikan konteks ke-Indonesia-annya, salah satunya adalah adopsi pasal-pasal haatzai artikelen yang sebenarnya untuk melindungi kehormatan Ratu Belanda dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dalam melakukan penindasan terhadap bangsa Indonesia.

Masih berlakunya pasal-pasal ini menjadi senjata ampuh bagi rezim neo-fasis militer Orde baru yang despotis, Suharto yang menginginkan stabilitas politik sebagai harga mati bagi keberhasilan pembangunan dalam ideologi developmentalism, memungkinkan rezim untuk mengabaikan hak-hak politik rakyat dan Hak Asasi Manusia, akibatnya banyak aktivis pro demokrasi yang ditangkap pada masa Orde baru dengan tuduhan pasal-pasal keret tersebut.

Pasca keruntuhan Suharto, ketika proyek redemokratisasi dilakukan secara besar-besaran ternyata pasal-pasal tersebut tidak tersentuh. Pasal-pasal karet masih tetap eksis dalam KUHPidana, walaupun konstitusi sudah diamandemen hingga empat kali. Habibie sebagai kepanjangan tangan Orde Baru, tidak pernah menggunakan pasal-pasal ini, namun pada masa Mega-Hamzah yang katanya pro rakyat pasal-pasal ini malah banyak sekali diterapkan. Sekarang, saat rezim SBY-JK berkuasa, sebagai rezim pilihan rakyat secara langsung, ternyata kedua penguasa tersebut masih tetap tega untuk menerapkan pasal-pasal karet tersebut. Sampai pada akhirnya ketika Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian and the interpreter of constitution membatalkan eksistensi pasal-pasal tersebut. Sebuah putusan cerdas. Sudah seharusnya MK sebagai lembaga yang menjalankan fungsi judicial activism ikut berperan aktif dalam mempercepat proses transisi demokrasi di Indonesia, sebagaimana MK di Korea Selatan yang menjadi salah satu aktor utama dalam proses reorganising power. Aktivis bisa bernafas lega, akhirnya presiden dan wapres, seperti layaknya manusia juga, yang mempunyai kedudukan dan dipandang sama di muka hukum (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945). Ketika presiden dan/atau wapres merasa dihina maka dia harus datang sendiri ke polisi untuk melaporkan tindakan penghinaan tersebut, seperti halnya masyarakat biasa. Namun, kayaknya kurang cerdas ketika presiden dan/atau wapres berani melakukan tindakan bodoh seperti itu –melaporkan tindakan penghinaan–, secara politik kharisma dan wibawa penguasa malah akan turun apabila berani melakukan tindakan tersebut, penguasa akan terkesan emosional dan tidak mempunyai watak kenegarawanan. Hanya orang bodoh yang mau menjerumuskan harga dirinya. Dalam era demokrasi seperti sekarang, menjadi sebuah kewajaran ketika warga negara diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk menyuarakan pendapat, memberi dan menerima informasi, sebagaimana diatur dalam konstitusi. Jadi, MK sudah tepat membatalkan pasal-pasal haatzai artikelen karena sudah tidak sesuai lagi dengan alam demokrasi sekarang, pasal-pasal tersebut hanya akan melahirkan rezim despotis yang otoriter.

Jika Butet Kertaredjasa terkenal dengan monolog “Matinya Tukang Kritik”, maka MK sudah menciptakan anti tesisnya “Eksisnya Tukang Kritik”. Seperti diungkapkan Tan Malaka di atas, bahwa bangsa Indonesia harus mempunyai sejarahnya sendiri, yang terlepas dari segala macam bentuk penindasan. Pasal-pasal haatzai artikelen sebagai warisan kolonialistik tentunya tidak terlepas dari roh penindasan, oleh karenanya sudah seharusnya dihapus. MK di sini berfungsi sebagai alat atau motor penggerak dari reformasi hukum nasional, fungsi MK adalah bagaimana mensinergiskan aturan-aturan dengan Undang-Undang Dasar 1945, hal ini bisa dimaknai sebagai bentuk revolusi total yang dimaksud Tan Malaka. Pasal-pasal haatzai artikelen yang berbau feodalistik menjadi keharusan untuk dienyahkan –di Eropa feodalisme telah luluhlantah oleh revolusi industri–. Memang sudah waktunya untuk melindungi para demonstran, aktivis yang memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan demonstran yang asal njeplak –asal mencaci-maki–. Dan masih tetap adanya aturan mengenai penghinaan terhadap presiden dan wapres (Pasal 310-321 dan Pasal 207) dengan ancaman hukuman yang lebih ringan, paling tidak bisa menjaga hak-hak presiden dan wapres selaku penguasa. Sebagai negara hukum (rechstaat) yang menjunjung tinggi demokrasi, maka persamaan di mata hukum dan Hak Asasi Manusia harus ditegakkan, apabila penguasa itu benar, maka katakanlah benar, jika perlu dibela, dan apabila penguasa itu lalim maka sudah seharusnya kita mengkritiknya, dan secara sadar penguasa harus menerimanya. Terakhir, semoga revisi KUHP yang tengah dibahas oleh banyak pihak menempatkan presiden dan wakil presiden pada posisi yang wajar, sebagaimana warga negara lainnya, supaya ada keseimbangan (tawazun) dan keadilan (ta’addul) senantiasa dijunjung tinggi, tidak kemudian malah mengembalikan pasal-pasal haatzai artikelen yang sewenang-wenang.(*)

Pernah dimuat di Majalah Berita Mahkamah Konstitusi Edisi Januari 2007

One response to “Sudah Waktunya Melindungi “Tukang Kritik””

  1. randy HI Avatar
    randy HI

    Tan Malaka

    “engkau masih lekat d hati kami”

Leave a comment