Meski secara formal dan simbolik rezim neofasis-militer Orde Baru sudah runtuh delapan tahun lalu, namun sekian banyak penyakit warisannya masih membekas, bahkan tereproduksi dan terus meledak. Salah satunya adalah kendaraan politik andalan Soeharto, yang selalu dan hampir pasti mengantar sang tiran menuju puncak kekuasaan. “GOLKAR”, tidak lain dan tidak bukan menjadi turangga Soeharto, dalam makna filosofis yang mendalam seorang pria jawa. Semenjak berdirinya, tahun 1964, ketika statusnya masih Sekretariat Bersama Golongan Karya, sepertinya GOLKAR memang sudah dirancang dan diproyeksikan untuk mengawal dan mem-back up sebuah rezim militer Angkatan Darat (AD), yang akan segera dibangun oleh AD golongan kanan tengah pimpinan Soeharto dan Ali Murtopo. Usaha AD untuk mencengkramkan kuasanya di Indonesia, sebenarnya sudah dimulai sejak lama, yakni sejak nasionalisasi aset-aset asing yang dilakukan oleh Presiden Soekarno tahun 1959-1962. Saat itu proses dan penguasaan korporasi-korporasi asing yang dinasionalisasikan, diserahkan sepenuhnya kepada AD yang dipimpin oleh Jenderal Nasution, tidak diserahkan dan diurus oleh rakyat sipil. Dari sini dapat dibaca betapa kuatnya pengaruh militer khususnya AD di Indonesia.
Setelah Soekarno runtuh tahun 1966, pasca tragedi G 30/S, AD menjadi kekuatan paling pertama dan utama yang segera bersiap untuk menyerang lawan-lawan politiknya, kaum kiri tentunya. Dengan payung sipil Sekber GOLKAR, yang ‘katanya’ berasal dari berbagai macam organisasi kekaryaan, semisal KOSGORO, AD menjadi semakin leluasa dalam melakukan manuver-manuver politik. Lobi-lobi dilakukan dengan partai-partai besar yang dianggap kontra Soekarno dan PKI (Masyumi, NU, PSII), hingga akhirnya Sekber GOLKAR bersama AD berhasil mengantarkan Soeharto mengggapai kursi pejabat presiden tahun 1967.
Perjalanannya, Sekber GOLKAR berperan layaknya sebuah partai politik, dan pada tahun 1971 GOLKAR terjun menjadi peserta pemilu, seperti pada umunya partai politik. Walaupun GOLKAR sendiri tidak pernah mau distempel sebagi parpol, tetapi mengklaim dirinya sebagai sebuah organisasi kekaryaan yang rakus kekuasaan. Sidang Umum MPR hasil pemilu 1971, dengan dipelopori oleh GOLKAR, lagi-lagi mampu mengantarkan Soeharto pada kursi presiden, dan terus berulang hingga pemilau tahun 1997. GOLKAR ‘yang bukan parpol’, menjadi partai penguasa yang nurut tunduk pada semua kebijakan kekuasaan. GOLKAR mempelopori univikasi partai politik, menjadi hanya dua partai politik dan GOLKAR. Rezim despotis Soeharto juga mengeluarkan sebuah aturan yang mewajibkan seluruh PNS di Indonesia untuk menjadi kader GOLKAR, dan memberikan suaranya kepada GOLKAR ketika pemilu. Bagi siapa yang ingkar dari aturan ini, ancamannya skorsing atau bahkan pemecatan. Demokrasi prosedural yang dijalankan Orde Baru, selalu berhasil mengantarkan GOLKAR menjadi pemenang dalam setiap pertarungan pemilu, imbas dari kemenangan GOLKAR sudah barang tentu Soeharto menduduki RI 1.
Model relasi yang dibangun oleh rezim Orde Baru bersama GOLKAR dengan PNS sebagai elemen utama, inilah yang mengantarkan Indonesia kembali terjebak pada sistem birokrasi patrimonial tinggalan kolonial. seperti dikemukakan oleh Weber birokrasi patrimonial ialah suatu sistem birokrasi dimana jabatan dan perilaku dalam keseluruhan hirarki birokrasi lebih didasarkan pada hubungan familier, hubungan pribadi dan hubungan ‘bapak-anak buah’ (patron client), perilaku ini bisa mengakibatkan paham “bapakisme”, seperti marak pada zaman Orde baru dengan istilah Asal Bapak Senang (Muhaimin, 1980). Dorojatun Kuntjoro Jakti menyebut birokrasi patrimonial serupa dengan lembaga perkawulaan, di mana patron adalah gusti atau juragan, dan klien adalah kawula. Hubungan antara gusti-kawula bersifat ikatan pribadi, implisit dianggap mengikat seluruh hidup, seumur hidup, dengan loyalitas primordial sebagai dasar pertalian hubungan (Dorojatun, 1980). Akibatnya, seluruh PNS di bumi Indonesia harus tunduk patuh dan hormat pada sang tiran, dengan GOLKAR di belakangnya. Korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela, namun tidak ada yang berani berkoar, dibungkam oleh rezim patrimonialistik.
Protes akhirnya muncul dari kalangan-kalangan muda yang anti feodal, dan mereka berhasil meruntuhkan Soeharto bersama GOLKAR-nya tahun 1998. Akan tetapi, GOLKAR tidak ikut mati bersama turunnya Soeharto, GOLKAR bermetamorfosis menjadi Partai GOLKAR. Partai modern dengan orang-orang yang masih seperti sediakala. Terakhir, pemilu tahun 2004 GOLKAR kembali memperoleh suara mayoritas, partai beringin berada di puncak kemenangan walaupun di tengah banyak hujatan. Perkembangan paling kontroversial, GOLKAR nekat memasukkan PNS di dalam balitbang partai. Meskipun status PNS yang masuk balitbang, bukan sebagai kader partai, melainkan sebagai ahli yang tidak terikat dengan kebijakan-kebijakan partai, namun pola-pola semacam ini menandakan betapa kuatnya keinginan GOLKAR untuk kembali menjadi partai pemerintah, yang mengawal kekuasaan beserta seluruh pegawai pemerintah, seperti layaknya zaman Orde Baru.
Reformasi yang telah dijalani Indonesia hampir sembilan tahun menguap begitu saja. Birokrasi patrimonial telah kembali, seiring masuknya PNS di tubuh GOLKAR, dan mungkin akan segera menyusun kekuatan untuk kembali membangun sebuah pemerintahan yang represif, anti kritik dan feodal. Apabila hal ini dibiarkan berlangsung, maka bisa dipastikan Indonesia akan kembali terpuruk dalam situasi represifitas, kubangan korupsi yang merajalela, dan dominasi salah sartu partai –GOLKAR–. Tanda-tanda ke arah itu sudah nampak, keluarnya PP 37/2006 yang meligitimasi penumpukan kekayaan oleh DPRD, PP ini menjadi pertanda telah kembalinya model birokrasi patrimonial, meskipun kita juga tidak bisa menafikan ini sebuah manuver politik SBY-JK untuk meruntuhkan legitimasi DPRD di mata rakyat. Yang pasti ‘partai beringin’ telah kembali, dan siap untuk mencengkramkan akar-akarnya, dengan membawa segenap gagasan, pemikiran dan pengaruh Orde Baru, termasuk di dalamnya warisan birokrasi patrimonial yang koruptif. Oleh karenanya, tiba waktunya bagi partai-partai lain segera merapatkan barisan, untuk bersama-sama menghadang dominasi dan hegemoni GOLKAR.
***
Leave a Reply