Runtuhnya Madzhab Keynesian pada 1970-an mengharuskan Inggris dan AS untuk mengubah seluruh kebijakan ekonomi politik internasionalnya. Kedua negara ini memilih untuk kembali kepada konsep ekonom klasik Adam Smith, tentunya dengan sifat yang lebih liberal. Ajaran neoklasik –dikenal juga dengan neoliberalisme-, yang mengajarkan penghilangan campur tangan negara dalam setiap aspek kehidupan negara, menjadi pandangan baru bagi Inggris dan AS, dalam menghegemoni negara-negara di belahan dunia lainnya. Pasca robohnya tembok Berlin –simbol runtuhnya sosialisme internasional-, gegap gempita neoliberalisme, yang menginginkan unifikasi dunia di bawah kuasa modal (negara-negara maju) semakin menggurita. Berbicara neoliberalisme tidak terlepas dari gejala globalisasi yang ramai dibicarakan khalayak umum. Banyak orang menganggap, globalisasi identik dengan perkembangan teknologi. Begitu mendengar istilah globalisasi pastilah kita selalu mengasosiasikannya dengan teknologi informasi, perusahaan multinasional, dan komunikasi via satelit. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan globalisasi? Held menafsirkan globalisasi sebagai hubungan keterkaitan (interconectedness) dan saling ketergantungan antar benua yang berbeda, dalam berbagai aspek, dari kriminal hingga aspek budaya, dari keuangan hingga aspek spiritual (Held, 1999).
Jalur inilah –globalisasi- yang selau digunakan negara-negara maju untuk menanamkan pengaruhnya di negara-negara berkembang. Salah satunya mereka menginginkan adanya satu sistem perdagangan global. Kemudian sebagai tindak lanjut dari Uruguy Round, yang bertujuan untuk menyatukan sistem perdagangan internasional dalam satu wadah, pada 1994 terbentuklah WTO (World Trade Organization), sebagai bentuk perluasan dari GATT. Salah satu butir kesepakatan WTO adalah persetujuan bidang perdaganagan jasa (GATS/ General Agremeent on Tariff and Sevices). Butir ini memberi peluang adanya liberalisasi bidang pendidikan, yang dianggap sebagai sektor jasa. Ini berarti memungkinkan masuknya institusi-institusi pendidikan besar di negara maju, ke negara yang masih lemah sistem pendidikannya.
Selain itu, Undang-Undang tentang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 –yang disinyalisr sebagai salah satu produk perundang-undangan pesanan neoliberal-, juga memberikan celah bagi yayasan-yayasan asing untuk beroperasi dan mencari keuntungan di Indonesia. Terbukti dari segi hukum nasional, institusi-institusi pendidikan asing yang ingin beroperasi di Indonesia, telah memiliki alat legal formal.
Selanjutnya adalah persoalan rendahnya anggaran pendidikan nasional, yang akibatnya adalah negara tidak mampu untuk menciptakan pendidikan murah yang berkualitas bagi rakyatnya. Malahan di satu sisi, pemerintah gencar melakukan privatisasi pendidikan tinggi -lihat kasus yang menimpa UI, IPB, ITB dan UGM, yang diubahnya statusnya dari PTN menjadi PT BHMN-, sebuah bentuk otonomi kampus yang kebablasan. Kedepan, bukanya belajar dari pengalaman buruk BHMN, pemerintah malah berencana untuk mengubah status seluruh institusi pendidikan tinggi negeri menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dengan kata lain privatisasi pendidikan merupan tujuan utama pemerintah, sebagai usaha untuk menghilangkan tanggung jawab negara atas pendidikan rakyatnya.
Ketiga celah di atas (persetujuan GATS, UU Yayasan dan Rendahnya anggaran pendidikan) menjadi celah yang cukup lebar bagi mengalirnya sekolah-sekolah internasional ke Indonesia. Walaupun tidak nyata, ini adalah satu bentuk penjajahan asing atas pendidikan Indonesia –kolonialisasi penididikan-. Dari sini kemudian muncul dua pertanyaan besar, bagaimana kemudian nasib massa rakyat Indonesia yang lemah ekonominya? Dan bagaimana kelanjutan usaha pembanguan character building yang selama ini digembar-gemborkan oleh Presiden SBY dan petinggi-petinggi pendidikan Indonesia? Bagi masyarakat menengah ke atas, biaya mahal yang ditawarkan sekolah internasional mungkin tidak masalah, asalkan sesuai dengan kualitas yang dijanjikan. Akan tetapi, bagaimana dengan masyarakat ekonomi lemah, untuk sesuap nasi mereka pun sulit, apalagi untuk menjamah sekolah internasional dengan segudang biaya. Kapan bangsa ini bisa maju, ketika masih terjadi fragmentasi pendidikan.
Persoalan tidak berhenti di sini, masuknya sekolah internasional juga memberikan ancaman bagi kearifan lokal (local wisdom) budaya bangsa Indonesia. Tidak mungkin sekolah internasional mau repot-repot untuk mengajarkan nilai-nilai ke-Indonesia-an. Sebagian besar tentunya akan lebih banyak masuk unsur-unsur barat, yang mayoritas bertolak belakang dengan budaya nusantara. Dengan kondisi seperti ini, cita-cita untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya –termasuk character building di dalamnya-, pastilah jauh dari angan-angan. Orang Indonesia akan lebih banyak digerogoti jiwa nasionalisme dan kearifan budayanya.
Lalu bagaimana kedepan? Membangun pendidikan yang mandiri, murah serta berkualitas, menjadi jawaban atas berlarut-larutnya krisis bangsa. Di tengah badai bencana yang datang silih berganti, pemerintah seharusnya tanggap untuk menciptakan pendidikan murah berkualitas, serta berorientasi kedepan –dalam artian masa depan watak, mental dan budaya bangsa Indonesia akan dibawa kemana? Apakah mau diserahkan kepada orang-orang asing, atau mau kita didik secara baik dan mandiri, agar nantinya lahir manusia Indonesia, yang berkepribadian Indonesia.(*)
Leave a Reply