Give me good judges, good supervisory judges, good prosecutors, and good police officers, I can have good law enforcement, although with a poor criminal code. (Profesor Taverne)
Mungkin kita telah melupakan penuturan dari almarhum Dr. Yap Tian Him, tentang suatu kejadian di tahun 1950-an, pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Seorang hakim, Lie Oen Hock, sempat membuat geger pengadilan. Sendirian ia mengejar-ngejar seorang advokat, hingga ke jalan Gadjah Mada. Ternyata apa yang terjadi? Hakim Lie Oen Hock marah, dan bermaksud menempeleng advokat tersebut, akibat kelakukan sang advokat yang berupaya menyuap hakim, atas perkara yang ditanganinya. Cerita ini memperlihatkan, betapa tingginya integritas dan moral penegak hukum kita, di kala itu.
Namun, apa yang terjadi sekarang? Mafia peradilan telah menjadi praktik lumrah, dalam setiap berperkara di pengadilan. Parahnya, praktik ini melibatkan hampir semua unsur penegak hukum, baik polisi, jaksa, advokat, maupun hakim sekalipun. Elemen lain yang tak kalah penting, dalam menjalankan praktik mafia peradilan adalah para makelar kasus, atau lebih dikenal dengan ‘markus’. Para ‘markus’ inilah yang seringkali menjadi penghubung antar unsur penegak hukum, dalam memuluskan pratik mafianya. Pemutaran rekaman pembicaraan, antara Anggodo Widjojo dengan sejumlah aparatus penegak hukum, di depan sidang Mahkamah Konstitusi kian membuktikan, betapa bobroknya dunia hukum kita. Aparat penegak hukum, yang seharusnya ‘menegakkan hukum’, justru dengan mudahnya dikendalikan, oleh ‘pemilik modal’, yang kebetulan sedang terjerat persoalan hukum.
Bermula dari ‘Pohon Beringin’
Dalam catatan Daniel S. Lev (1990: 77), kritik pedas terhadap dunia hukum kita, dimulai semenjak 1960, ketika kemerosotan keadilan mulai terjadi, pasca-berakhirnya revolusi fisik. Di tahun 1960 inilah simbolisasi hukum kita berubah. Dari ‘dewi keadilan berpenutup mata, dengan neraca di tangannya’, berubah menjadi ‘pohon beringin’ dengan tambahan kata ‘pengayoman’ di bawahnya (perlindungan dan pertolongan).
Lambang ‘pohon beringin’ mengandung makna, dahulu kala pada masa kerajaan-kerajaan Jawa, seseorang yang ingin memohon keadilan kepada rajanya, ia cukup duduk di bawah pohon beringin di depan keraton. Laku duduk di bawah beringin, dapat menjadi instrumen pemaksa bagi raja, agar memerhatikan keadilan yang dimohonkan sang hamba. Akan tetapi, pada praktiknya di kemudian hari, ‘pohon beringin’ justru ditafsirkan sebagai relasi patternalistik, antara patron dengan kliennya. Sebuah relasi yang tidak menuntut adanya pertimbangan objektif, dalam mengambil suatu tindakan atau keputusan (Lev, 1990: 108).
Hubungan patrimonialistik inilah yang menjadi akar bagi suburnya praktik mafia peradilan di Indonesia. Korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam dunia penegakkan hukum, hadir akibat hubungan penghambaan, antara para hamba-penegak hukum-dengan juragan-para pemilik modal. Hukum tidak lagi ditegakkan, rasa keadilan dimatikan oleh pertimbangan-pertimbangan hukum subjektif, yang dianggap paling menguntungkan relasi patron-client.
Gebrakan Pemerintahan Baru
Entah berapa banyak jumlahnya ‘Peradilan Socrates’ berlangsung di negeri ini. Dimana seseorang di hukum bukan karena dia melanggar hukum, atau ketidaksalehannya terhadap negara dan hukum. Tetapi karena sebuah rekayasa aparatus penegak hukum dengan ‘para juragan’, yang menginginkan dihukumnnya seseorang, sebab tindak tanduknya yang dianggap menggangu ‘para juragan’.
Menanggapi maraknya praktik mafia hukum, khususnya pasca-pemutaran rekaman dugaan rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK, Presiden Yudhoyono menempatkan ‘pemberantasan mafia hukum’ sebagi program seratus hari pemerintahannya. Akan tetapi, mungkinkah mafia hukum yang telah mengurat-syaraf dalam dunia peradilan kita, dapat diperbaiki dalam waktu seratus hari? Sebagai langkah awal, mungkin kita patut memberi apresiasi, atas niat baik dan kemaun politik Presiden. Namun, tanpa kerja keras, dan kerjasama semua pihak, program ini tentu akan sekedar berakhir dengan kemandulan.
Lalu, tindakan nyata apa yang seharusnya dilakukan Presiden Yudhoyono, dalam rangka pembersihan? Sekedar menerima pengaduan dari masyarakat saja tentunya tidak cukup. Karena tidak ada ubahnya dengan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian, yang hasilnya belum cukup signifikan bagi pemberantasan mafia hukum. Melihat kuatnya cengkraman mafia hukum, sekiranya perlu langkah radikal dari Presiden, jika berkehendak untuk membersihkan itu semua. Meminjam istilah seorang intelektual Perancis, Jacques Derrida, Presiden perlu melakukan ‘dekonstruksi’ terhadap institusi penegak hukum. Dekonstruksi merupakan sebuah hasrat dan cita-cita untuk membongkar bangunan yang sudah mapan, mempreteli sebuah konstruksi, untuk kemudian dibangun kembali dengan konstruksi yang baru (Derrida, 1976).
Butuh Langkah Nyata
Sejalan dengan pemikiran Derrida, memerhatikan buruknya institusi penegak hukum di Indonesia, Daniel S. Lev pernah mengusulkan untuk memecat seluruh hakim dan jaksa, lalu menggantikannya dengan orang-orang baru. Namun, usulan ini dianggap memiliki risiko politik terlalu besar, mengingat banyaknya jumlah hakim dan jaksa (Danang Widoyoko, 2002: vi). Tetapi melihat kondisi kekinian, usulan Lev tampaknya layak untuk dipertimbangkan. Khususnya penggantian sejumlah pejabat teras, di lingkungan kepolisian dan kejaksaan. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, sudah seharusnya Presiden melakukan tindakan politik nyata, terhadap institusi penegak hukum yang berada di bawah kendalinya.
Selain langkah penggantian, penguatan sistem dan fungsi pengawasan internal di tiap-tiap institusi juga perlu dilakukan. Agar fungsi pengawasan internal tidak sekedar menjadi prosedur formal yuridis semata, yang tidak memiliki daya tekan apapun. Keberadaan komisi-komisi negara pengawas juga musti dikuatkan dan diefektifkan, tidak hanya menjadi pelengkap penderita dari lembaga yang diawasi. Kewenangannya tidak cukup memberikan pertimbangan dan rekomendasi, tetapi juga perlu dilengkapi dengan kewenangan penindakan, bilamana terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan tugas penegakkan hukum.
Pelaporan langsung tindakan mafia hukum pada presiden, hanyalah langkah permulaan, dalam mengurai benang kusut penegakkan hukum. Pembongkaran yang sesungguhnya ialah tindakan nyata Presiden, baik yang sifatnya politik maupun hukum. Langkah nyata Presiden, sekiranya dapat memperbesar harapan masyarakat, akan terwujudnya penegakkan hukum yang jujur, adil, bersih dan efektif.
Jurnal Nasional, 11 November 2009
Leave a Reply