Inflasi Perppu tidak terhindarkan pada pemerintahan Yudhoyono. Dalam lima tahun pemerintahannya, sedikitnya 16 Perppu dikeluarkan. Tidak sedikit pengaturan yang sifatnya teknis, dibawa hingga ke tingkat undang-undang. Bahkan di akhir jabatannya, Presiden menerima kecaman keras dari masyarakat, akibat dikeluarkannya Perppu Perubahan UU KPK, yang dianggap mengganggu independensi dan imparsialitas KPK.
Konstitusi memang memberi wewenang kepada Presiden, selaku kepala pemerintahan tertinggi, untuk mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perppu). Artinya, secara formil aturan ini bentuknya peraturan pemerintah (PP), namun secara materiil, memiliki kekuatan mengikat seperti halnya undang-undang (wet in materiele zin). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, disebutkan: “(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang”. Lahirnya Perppu, dimaksudkan untuk menjawab permasalahan, bilamana terjadi kekosongan hukum, dalam sebuah keadaan genting, yang dikhawatirkan akan mengganggu jalannya pemerintahan.
Vernon Bogdanor, seperti dikemukakan Jimly Ashiddiqie (2006:84) menyebutkan, setidaknya terdapat tiga kondisi keadaan darurat, yang dapat mengakibatkan suatau kegentingan memaksa, yaitu: darurat perang; darurat sipil; dan darurat internal (innere not stand). Darurat yang sifatnya innere notstand, dapat timbul berdasar pada penilaian subjektif presiden, yang selanjutnya bisa menjadi alasan bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu.
Catatannya, Perppu hanya dapat dikeluarkan sebatas untuk kepentingan internal pemerintahan, yang memerlukan payung hukum setingkat undang-undang. Sedangkan DPR tidak mungkin melakukan proses pembentukan undang-undang tersebut dalam waktu cepat. Jadi, pengertian kegentingan yang memaksa dapat dimaknai dari segi mendesaknya substansi (materiil), dan mendesak dari segi waktunya (formil).
Wajib Diuji MK
Tidak adanya peraturan perundang-undangan yang secara detail mengatur tentang batasan-batasan kondisi kegentingan yang memaksa, menjadikan Perppu sebagai ‘bola liar’. Yang sewaktu-waktu dapat dimainkan oleh Presiden berkuasa, untuk kepentingan kekuasaannya. Meskipun UUD 1945 memberikan penegasan, bahwa penilaian objektif terhadap Perppu akan diberikan DPR, ketika Perppu diajukan sebagai rancangan undang-undang kepada DPR. Namun, dengan komposisi DPR yang mayoritas berisikan partai-partai pendukung pemerintah, menjadi berbahaya ketika uji objektifitas Perppu hanya dilakukan DPR. Sebab, tidak tertutup kemungkinan, pembahasan Perppu di DPR, hanya akan menjadi prosedur yuridis formal belaka. DPR justru sekedar menjadi tukang stempel, untuk mengesahkan Perppu menjadi undang-undang.
Sebagai undang-undang dalam arti materiil (wet in materiele zin), sesungguhnya uji objektifitas—konstitusionalitas Perppu dapat dilakukan MK. Meski prosedur pembentukannya tidak melibatkan DPR (UU dalam arti formil), tetapi Perppu memiliki kekuatan mengikat yang sejajar dengan undang-undang. Sehingga, seperti ditegaskan Jimly Ashiddiqie (2006: 91), tidak ada alasan bagi MK, kecuali memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pengujian konstitusionalitas Perppu, sebagai undang-undang dalam arti materiil. Apalagi jika Perppu dimaksud telah nyata-nyata menimbulkan kerugian konstitusional bagi warganegara.
Mentradisikan pengujian Perppu di MK menjadi penting, untuk mencegah semua kekhawatiran di atas. Ini demi setidaknya menghindari inflasi Perppu, dan menyelematkan demokratisasi Indonesia, yang sudah dibangun sekian lama. [ ]
KOMPAS, 12 Oktober 2009
Leave a Reply