Judicial Review: Sebuah Pengantar

Published by

on

gavelPertama, terlebih dahulu kita posisikan tentang istilah atau term dari judicial review itu sendiri. Sebab ahli hukum pada umumnya acapkali terjebak dalam penggunaan istilah constitutional review, judicial review dan hak menguji (toetsingsrecht). Konsepsi judicial review hadir dalam kerangka objek yang lebih luas, dibandingkan dengan konsep contstitutional review, yang hanya sebatas pengujian konstitusional suatu aturan hukum terhadap konstitusi (UUD), sedangkan judicial review memiliki objek pengujian yang lebih luas, bisa menyangkut legalitas peraturan di bawah UU terhadap UU, tidak hanya sekedar UU terhadap UUD. Akan tetapi, pada segi subjek pengujinya, makna judicial review mengalami penyempitan, sebab judicial review hanya dapat dilakukan melalui mekanisme peradilan (judiciary), yang dilaksanakan oleh para hakim. Sedangkan jika constitutional review subjek pengujinya dapat dilaksanakan oleh lembaga pengadilan (judicial review), lembaga legislative (legislative review), lembaga eksekutif (executive review), atau lembaga lainnya yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi tersebut, pemberian hak uji inilah yang menjadi pengertian dari toetsingsrecht. Judicial review hanya berlaku jika pengujian dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract norms) secara “a posterior,” artinya norma hukum tersebut telah diundangkan oleh pembentuk UU.[1]


Kedua, mengenai cakupan peradilan tata negara itu sendiri. Menurut pendapat banyak ahli hukum terminologi peradilan tata negara itu mencakup peradilan tata negara di Mahkamah Konstitusi (constitutional adjudication), peradilan tata usaha negara di Mahkamah Agung (administrative adjudication), dan badan-badan peradilan tata usaha negara yang ada di bawah Mahkamah Agung. Akan tetapi, pengertian yang luas tersebut apabila kita persempit dengan tidak mengikutsertakan peradilan tata usaha negara yang berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung, maka pengertian peradilan tata negara yang dimaksud dapat dimaknai sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dan fungsi tertentu dari Mahkamah Agung.[2] Dalam pembahasan ini, pengertian atau ruang lingkup peradilan tata negara akan dipersempit secara strict, atau dengan pengertian yang lebih khusus dan spesifik mengenai fungsi dari Mahkamah Konstitusi, sebagai diatur dalam ketentuan Pasal 24 C UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Ketiga, menyangkut objek dari judicial review, dalam praktek dikenal tiga macam norma hukum yang bisa diuji. Pertama, keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling); Kedua, keputusan normative yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking); Ketiga, keputusan normative yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement/vonnis). Ketiga norma hukum tersebut ada yang merupakan individual and concrete norms (beschikking dan vonnis), dan ada yang berwatak generale and abstract norms (regeling).[3] Karena di atas tadi sudah dilakukan pembatasan mengenai ruang lingkup dari peradilan tata negara, yakni hanya menyangkut kewenangan dari Mahkamah Konstitusi, maka berkaitan dengan objek pengujiannya, di sini lokusnya hanya sebatas pada generale and abstract norms (regeling), dalam implementasi pengujian konstitualitas UU terhadap UUD. Pengujian konstitualitas berhubungan dengan kadar kekonstitusionalan UU, baik secara materil maupun formil. Dalam tradisi Indonesia sekarang pengujian konstitulitas menjadi bagian dari fungsi Mahkamah Konstitusi, sedangkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi pengujian legalitas. Artinya, Mahkamah Konstitusi menguji the constitutionality of legislative law or legislation (Produk-produk legislative/UU), sedangkan Mahkamah Agung menjalankan uji the legality of regulation (peraturan hukum di bawah UU).[4]

Mauro Capelletti, secara substantif mengartikan judicial review sebagai sebuah proses penerjemahan nilai-nilai yang ditentukan oleh konstitusi melalui sebuah metode tertentu untuk menjadi suatu keputusan tertentu.[5] Proses penerjemahan tersebut terkait dengan pertanyaan questio juris yang juga harus dijalankan oleh para hakim dalam sebuah lembaga kehakiman, hakim tidak hanya memeriksa fakta-fakta (judex factie), tetapi juga mencari, menemukan dan menginterpretasikan hukumnya (judex juris). Artinya, penekanan pada proses interpretasinya ini (proses review) mengakibatkan judicial review menjadi isu yang punya kaitan erat dengan struktur ketatanegaraan suatu negara bahkan hingga ke proses politik pada suatu negara. Konsep ini memiliki hubungan erat dengan struktur tatanegara suatu negara yang menempatkan dan menentukan lembaga mana sebagai pelaksana kekuasaan tersebut.[6] Bahkan lebih jauh, bagaimana proses politik nasional memaknai pelaksanaan pemegang kekuasaan judicial review tersebut.

Istilah judicial review sesungguhnya merupakan istilah teknis khas hukum tata negara Amerika Serikat yang berarti wewenang lembaga pengadilan untuk membatalkan setiap tindakan pemerintahan yang bertentangan dengan konstitusi.[7] Pernytaan ini diperkuat oleh Soepomo dan Harun Alrasid, mereka mengatakan di Belanda tidak dikenal istilah judicial review, mereka hanya mengenal istilah hak menguji (toetsingensrecht). Judicial review dimaksudkan menjadi salah satu cara untuk menjamin hak-hak kenegaraan yang dimiliki oleh seorang warga negara pada posisi diametral dengan kekuasaan pembuatan peraturan.

Pengujian oleh hakim itu dapat dilakukan dalam bentuk institutional-formal dan dapat pula dalam bentuk substansial. Suatu peraturan sebagai institusi dapat dimohonkan pengujian kepada hakim, dan hakim dapat menyidangkan perkara ‘judicial review’ itu dalam persidangan yang tersendiri, inilah bentuknya yang secara institutional-formal. Sedangkan dapat juga terjadi pengujian yang dilakukan oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di pengadilan. Dalam mengadili sesuatu perkara apa saja, hakim dapat saja atau berwenang mengesampingkan berlakunya sesuatu peraturan atau tidak memberlakukan sesuatu peraturan tertentu, baik seluruhnya (totalitas) ataupun sebagiannya. Mekanisme demikian ini dapat pula disebut sebagai ‘judicial review’ yang bersifat prosessual, atau ‘judicial review’ yang bersifat substansial.[8]

Dalam konteks yang berkembang di Indonesia, sealur dengan perkembangan ketatanegaraan kontemporer, di mana judicial reviw menjadi bagian dari fungsi Mahkamah Konstitusi, judicial review dimaknai sebagai kewenangan untuk melakukan pengujian baik secara materil maupun formil suatu undang-undang terhadap undang-undang dasar, serta kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.[9] Jadi, secara teoritik judicial review, dalam kerangka peradilan tata negara, dengan pemaknaan yang telah dipersemit seperti di atas, judicial review berarti kewenangan-kewenangan yang di miliki oleh peradilan tata negara (sebuah lembaga judicial), untuk melaksanakan fungsi-fungsi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mengenai objek pengujiannya ialah produk-produk legislative (legislative act), yang berupa undang-undang. Dalam system hukum Indonesia yang berkembang saat ini, yang mejadi legislator utama adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akan tetapi karena pembuatan produk legislasi (UU) membutuhkan persetujuan bersama antara eksekutif dan legislative, maka pemerintah pun memiliki fungsi sebagai legislator, meski hanya co-legislator. Dalam kapasitasnya sebagai pembentuk undang-undang, kedua organ tersebut (DPR dan Presiden) tidak wenang untuk merubah atau membatalkan suatu produk undang-undang. Pemerintah sendiri justru harus mentaati suatu produk undang-undang, dan DPR menggunakan undang-undang bersangkutan sebagai satndar atau alat control terhadap pemerintah dalam melaksanakan kinerjanya. Persoalannya adalah ketika produk undang-undang tersebut nilai konstitulitasnya bertentanga dengan konstitusi, apakah harus terus dilanjutkan, pelaksanaan dan fungsi kontrolnya. Pada sisi inilah Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga judicial mengambil peran, untuk melakukan uji konstitualitas.


[1] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 2-7.

[2] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal 332-334.

[3] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal 1-3.

[4] Ibid., hal. 6.

[5] Mauro Cappelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective, Clarendon Press – Oxford, 1989, halaman 120.

[6] Bentuk negara federasi akan membuat judicial review juga kadang-kadang dijalankan secara vertikal yakni antara pusat dan daerah. Selain itu, masing-masing negara juga punya pengalaman sendiri dalam mekonstruksi konsepsi judicial review-nya. Ada banyak negara yang menyatukan fungsi ini ke Mahkamah Agung dan demikian juga ada banyak negara yang menempatkannya pada lembaga lainnya yakni Mahkamah Konstitusi atau Dewan Konstitusi.

[7] Lihat: Jerome A. Barron and C. Thomas S., Constitutional Law, St. Paul Menn-West Publishing Co., 1986, halaman 4-5.

[8] Lebih lanjut dituliskan olehnya bahwa ‘review’ dapat dibedakan dari ‘appeal’, seperti yang dikatakan oleh Brian Thompson, “If one appeals a decision, one is claiming that it is wrong or incorrect, and that the appellate authority should change the decision”. Sedangkan pada ‘judicial review’, “the court is not concerned with the merits of the case, whether the decision was right or wrong, but whether it was lawful or unlawful. Seperti dikatakan oleh Lord Brightman: “Judicial review is concerned, not with the decision, but with the decision-making process”. Lihat: Jimly Ashshiddiqie, Judicial review: Pengawasan terhadap Kekuasaan Legislatif dan Regulatif dalam Perspektif Hukum Tata Negara, makalah belum dipublikasikan, 2002, hal. 5.

[9] Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

9 responses to “Judicial Review: Sebuah Pengantar”

  1. khibran Avatar
    khibran

    Makasih ya Pak atas ilmunya….

  2. el altha Avatar
    el altha

    kalau berbicara mengenai judicial review, biasanya pembaca akan langsung terpola pemikiran pd hak uji yg dilakukan oleh pihak yudikatif (MK & MA). karenanya mungkin utk dpt lebih memahami mengenai konteks hak uji secara umum, bapak berkenan menuangkan tulisan / pemikiran mengenai hak uji tsb dr pengertian toetsingsrecht (hak uji) dlm arti luas yaitu pengujinya tdk hanya dari lembaga yudikatif, termasuk keunggulan dan kelemahan pengaturan ttg hak uji tsb thd produk hukum. trima kasih.

    1. wahyudidjafar Avatar
      wahyudidjafar

      Temans, mungkin untuk bacaan awal bisa membaca artikel saya sebelumnya: Ajaran Constitutional Review dan Judicial Review di Indonesia dapat diakses di https://wahyudidjafar.wordpress.com/2008/07/25/perkembangan-doktrin-constitutional-review-dan-judicial-review-di-indonesia/ dan Gagasan Pembentukan MK di Indonesia dapat diakses di https://wahyudidjafar.wordpress.com/2008/07/25/penulusuran-ide-pembentukan-mk-di-indonesia/.

      terima kasih,

  3. reza Avatar
    reza

    kalo hubungan judicial review ama perpu apa bang?

    1. wahyudidjafar Avatar
      wahyudidjafar

      reza, judicial review adalah sebuah mekanisme untuk menguji undang-undang, melalui lembaga yudisial (pengadilan). sedangkan perppu, adalah peraturan pemerintah pengganti undang-undang, yang nilainya sederajat dengan undang-undang, sehingga bisa juga diuji melalui mekanisme judicial review. untuk pembahasan lebih lanjut silakan bc tulisan yg judulnya, “Bola Liar Perppu”. terima kasih.

  4. khe junianz Avatar
    khe junianz

    Aku mau tanya bang, kalo ada sebuah perda di-judicial review oleh seorang WNI keturunan karena materinya dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan UU diatasnya. karena Ada pasal yang menyebutkan jika WNI keturunan mengurus ijin bangunan maka biaya akan lebih mahal dari WNI ali. Apakah dibenarkan apabila WNI keturunan yg mengajukan judicial review ke MK?

    1. wahyudidjafar Avatar
      wahyudidjafar

      Perda tersebut bisa dilakukan judicial review, dengan undang-undang sebagai dasar untuk melakukan pengujian. UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Etnis dan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan bisa menjadi sandaran pengujian. Untuk perda, mekanisme yang ada diajukan ke Mahkamah Agung atau Kementerian Dalam Negeri, ke MK belum memungkinkan, karena MK hanya menguji UU terhadap UUD 1945. Akan tetapi, jika perdanya langsung bertentangan dengan konstitusi, bisa juga sebenarnya dicoba untuk diajukan JR ke MK, UU Kekuasasn Kehakiman yang menyatakan hakim tidak boleh menolak perkara, bisa jadi argumentasi, kenapa hal ini dibawa ke MK. Thank u

  5. Marsyah Rani Avatar
    Marsyah Rani

    dimana judicial review itu dilakukan bg?

    1. wahyudidjafar Avatar
      wahyudidjafar

      Judicial review UU terhadap UUD 1945 dilakukan di Mahkamah Konstitusi. Judicial review peraturan di bawah undang-undang (PP, Perpres, Permen, dan Perda) terhadap UU dilakukan di Mahkamah Agung. Thank u

Leave a reply to wahyudidjafar Cancel reply