WahyudiDjafar's Blog

law, human rights, internet, and security

Ajaran Constitutional Review dan Judicial Review di Indonesia

Meski Austria yang menganut system hukum Eropa Kontinental, menerima ajaran constitutional review, namun Belanda sebagai sesama penganut paham Eropa Kontinental menolak konsepsi constitutional review. Belanda lebih cenderung mengedepankan upaya administrasi, melalui lembaga peradilan administrasi (administrative court/Pengadilan Tata Usaha Negara). Namun demikian, di Belanda tetap dikenal istilah hak menguji (toetsingsrecht). Walaupun antara toetsingsrecht dengan judicial review/constitutional review memiliki kapasitas pengertian yang berbeda, setidaknya kedua mekanisme ini memilki substansi tujuan yang sama, yakni adanya perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan penghargaan terhadap konstitusi sebagai norma dasar. Karena Belanda menolak metode judicial review/constitutional review, perkembangan ajaran ini di Indonesia pun tidak begitu marak dan massif. Pemikir-pemikir hukum Indonesia pada waktu itu, lebih mengenal prinsip-prinsip hukum Eropa Kontinental yang menjunjung tinggi civil law, seperti di negeri Belanda. Meskipun demikian, ketika terjadi proses penyusunan Undang-Undang Dasar 1945, masalah hak menguji oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter) menjadi bahan perdebatan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokuritsu Zyunbi Chosa Kai).

Perdebatan ini muncul ketika pada tanggal 11 Juli 1945, M. Yamin melontarkan gagasan mengenai Balai Agung dan Mahkamah Tinggi, M. Yamin mengatakan, “Mahkamah inilah yang setinggi-tingginya, sehingga dalam membanding udang-undang, mak Balai Agung inilah akan memutuskan apakah sejalan dengan hukum adapt, syariah dan Undang-Undang Dasar.”[1] Pada persidangan tanggal 15 Juli 1945, M. Yamin kembali menjelaskan gagasannya tentang fungsi Balai Agung/Mahkamah Agung. M. Yamin menyatakan bahwa: “Balai Agung janganlah saja melaksanakan bagian kehakiman, tetapi juga hendaklah menjadi badan yang membanding, apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan, tidak melanggar undang-undang dasar republic atau bertentangan dengan hukum adapt yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syarah agama Islam…”[2]

Melihat usulan M. Yamin tersebut, bisa kita lihat, walaupun sebelumnya Belanda tidak mengajarkan suatu mekanisme yang di Amerika Serikat disebut dengan judicial review, ternyata ahli-ahli hukum republic juga sudah memikirkan adanya mekanisme tersebut dalam konstitusi yang akan di susun. Ini berarti gagasan tentang judicial review dan constitutional review sebenarnya sudah muncul sejak lama di Indonesia. Dari pendapat M. Yamin inilah kemudian muncul perdebatan, menanggapi usulan M. Yamin, Soepomo mencoba menolaknya. Soepomo mengemukakan dua alasan untuk menolak usulan M. Yamin. Pertama, bahwa persoalan hak menguji/judicial review ialah terkait dengan paham demokrasi liberal dan pemberlakuan ajaran trias politica Montesquieu secara murni (separation of power) seperti di Amerika Serikat, sedangkan UUD 1945 tidak menganut kedua pandangan tersebut. Dalam kesempatan tersebut Soepomo mengatakan: “…Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini kita memang tidak memakai sistim yang membedakan principieel tiga badan itu artinya, tidaklah bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang. Memang maksud sistim yang diajukan oleh Yamin, supaya kekuasaan kehakiman mengontrol kekuasaan (membentuk) undang-undang. Pertama, dari buku-buku ilmu negara ternyata bahwa antara para ahli tata-negara tidak ada kebulatan pemandangan tentang masalah itu. Ada yang pro, ada yang kontra kontrol. Apa sebabnya? Undang-Undang Dasar hanya mengenai semua aturan yang pokok dan biasanya begitu lebar bunyinya sehingga dapat diberi interpre-tasi demikian bahwa pendapat A bisa selaras, sedang pendapat B pun bisa juga. Jadi, dalam praktek, jikalau ada perselisihan tentang soal, apakah sesuatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, itu pada umumnya bukan soal yuridis, tetapi soal politis; oleh karena itu mungkin dan disini dalam praktek begitu, pula ada konflik antara kekuasaan sesuatu Undang Undang dan Undang- Undang Dasar. Maka, menurut pendapat saya sistim itu tidak baik buat Negara lndonesia yang akan kita bentuk!”[3]

Alasan kedua Soepomo mengatakan:

“Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan bahwa para ahli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini, dan tuan Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria, Chekoslowakia dan Jerman waktu Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan spesial, constitutioneelhof, -sesuatu pengadilan spesifik- yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu.”[4]

Untuk alasan yang kedua ini, sebenarnya sifatnya kondisional, menurut pandangan Soepomo, bila nantinya sudah banyak terdapat ahli hukum tata negara, maka bisa saja hak menguji kemudian dimunculkan, dan menjadi kewenangan dari Mahkamah Agung ataupun Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan alasan yang pertama tadi, memang pada waktu Indonesia belum mengenal mekanisme checks and balances, jadi kedudukan ketiga cabang kekuasaan adalah sejajar dan tidak dapat saling mengawasi, karena Indonesia menganut system trias politica tidak murni.[5] Endingnya, perdebatan kedua tokoh ini tidak diketahui kemana jrungtungnya, karena pada naskah persiapan UUD 1945 tidak ditemukan hasil kompromi kedua tokoh, bahkan di risalah sidang juga tidak mencantumkan kelanjutan perdebatan tersebut, bagaimana penerimaan dan penolakan dari peserta sidang yang lain. Terangnya, naskah UUD 1945 pertama, tidak pernah menyertakan adanya hak menguji yang dimiliki oleh hakim secara eksplisit di dalamnya. Namun demikian, walaupun hak menguji tidak secara eksplisit terdapat dalam konstitusi, menurut Kleintjes, seperti dikatakan Harun Alrasid, “hak menguji itu, baik dalam arti formal maupun dalam arti material, pada hakekatnya melekat pada tugas hakim. Selama tidak diingkari, hak tersebut dimiliki oleh hakmi, yang bukan saja merupakan hak tetap juga merupakan kewajiban.”[6]

Kemelut ketatanegaraan yang kerap kali terjadi pada masa rezim Soekarno berkuasa, akhirnya berakhir setelah tumbangnya Sukarno pada 1966.[7] Dominasi kekuatan militer angkatan darat pada saat runtuhnya pemerintahan Sukarno, memunculkan orang baru dari kalangan angakatan darat yang diproyeksikan untuk menggantikan Sukarno, muncullah nama Suharto. Meskipun semboyan yang dibawa oleh Suharto dalam menjalankan pemerintahannya ialah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, serta menempatkan UUD 1945 pada sebuah posisi yang sacral, namun rezim ini tidak pernah secara eksplisit memberikan basis legal material bagi Mahkamah Agung untuk melakukan uji materil dan formal atas suatau undang-undang terhadap UUD. Jadi, kalaupun suatu undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD, maka undang-undang tersebut akan tetap berlaku, sebab tidak ada lembaga yang wenang untuk melakukan pengujian. Mahkamah Agung hanya memiliki wewenang menguji secara materil terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 26 menyebutkan:

(1) Mahkamah Agung berweneng untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang- undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

Selain dalam UU No. 14 Tahun 1970, ketentuan ini juga diatur dalam Tap MPR No. VI/MPR/1973 dan Pasal 11 ayat (4) Tap MPR No. III/MPR/1978. ketentuan tersebut kemudian diperbaharui lagi melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dalam Bab III tentang Kekuasaan Mahkamah Agung, Pasal 31 menyebutkan:

(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundangundangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat kita lihat watak otoritatif dari rezim berkuasa, dimana kewenangan menguji hanya berlaku bagi peraturan perundang-undangan yang kedudukannya dibawah undang-undang, sedangkan semua undang-undang, meskipun melanggar hak-hak kewarganegaraan dan bertentangan dengan konstitusi yang dikeramatkan akan tetap dianggap benar dan berlaku.

Setelah berkuasa selama tiga puluh tahun lebih, kekuasan despotis otoriter Suharto berakhir juga, dengan berpegang pada ghirah untuk memerangi absolutisme, maka dimulailah proyek reorganizing system ketatanegaran Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam system ketatanegaraan Indonesia, ada lembaga yang wenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD, serta berfungsi sebagai penafsir UUD (the interpreter of constitution). Sebagai permulaan, kewenangn ini diberikan kepada MPR, sambil menunggu terbentuknya sebuah lembaga Mahkamah Konstitusi (constitutional court). Ketentuan ini sebagaiamana diatur dalam Pasal 5 Tap MPR No. III/MPR/2000, yang menyebutkan:

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(2) Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

(3) Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi.

(4) Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat mengikat.

Kewenangan uji konstitusionalitas pada lembaga MPR tidak diperpanjang, sebab hal ini dirasa tidaklah tepat, sebagaimana disebutkan dalam Naskah Akemik RUU Mahkamah Konstitusi, dalam naskah akademik tersebut disebutkan bahwa penyerahan kewenangan uji konstitusionalitas kepada MPR tidaklah tepat, karena:[8]

(1) Kewenangan ini merupakan kewenangan yang berkaitan erat dengan permasalahan hukum, konstitusi, dan ketatanegaraan, sehingga memerlukan keahlian tersendiri. Sementara keanggotaan di dalam MPR terdiri dari berbagai macam latar belakang yang semuanya berorientasi pada kepentingan politik, karena merupakan wakil partai;

(2) Keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR, sementara DPR merupakan lembaga yang mempunyai kewenangan membentuk undang-undang, sehingga agak janggal apabila pihak yang membuat undang-undang menguji sendiri produknya.

(3) Pengujian terhadap undang-undang merupakan sebuah kewenangan khusus yang memerlukan waktu dan tenaga, sehingga akan tidak efektif apabila dilakukan oleh anggota MPR yang mempunyai jadwal yang padat dan mekanisme kerja tersendiri.

Menguatnya semangat untuk memberikan perlindungan dan jaminan pemajuan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan upaya untuk menghindari penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang, seperti yang terjadi pada rezim otoritarian birokratik Orde Baru, telah mengilhami sebuah upaya untuk melakukan amandemen menyeluruh terhadap UUD 1945. UUD 1945 yang terlalu singkat dan tidak secara detail menjelaskan berbagai persoalan kenegaraan kontemporer, mudah sekali untuk dibawa kemana pun, tergantung angin kekuasaan sedang bertiup kemana. Karenanya amandemen yang dimulai sejak 2001 oleh Badan Pekerja MPR, mendapat apresiasi dari banyak pihak, proses ini dimaknai sebagai ikhtiar guna melakukan distribusi kekuasaan secara adil, dengan mengedepankan system checks and balances, sehingga tidak ada lagi hegemoni dan dominasi oleh salah satu cabang kekuasaan, seperti periode kekuasaan sebelumnya. Dalam naskah akadmik RUU Mahkamah Konstitusi disebutkan salah satu alasan mengapa perlu ada perubahan terhadap UUD 1945 adalah sebagai berikut: UUD 1945 sangat singkat karena hanya terdiri dari 37 pasal. Oleh penyusunnya, UUD 1945 diharapkan dapat disempurnakan pada masa berikutnya. Sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia menunjukkan bahwa dinamika kehidupan bernegara berkembang dengan pesat, sementara sifat UUD 1945 yang singkat dan supel tersebut tetap dipertahankan. Pada akhirnya muncul permasalahan, karena masing-masing pihak memberikan penafsiran terhadap UUD 1945 berdasarkan pemahaman dan kepentingannya masing-masing. Hal ini tidak jarang menimbulkan konflik ketatanegaraan antara lembaga negara dalam interaksi dan interelasinya ketika menjalankan kewenangannya.[9]

Salah satu point penting dari hasil amandemen konstitusi adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi dalam system ketatanegaraan Indonesia, sebagai lembaga yang berwenang untuk melaksanakan fungsi uji konstitusionalitas. Memperhatikan kondisi factual yang terjadi pascaterjadinya beberapa konflik ketetanegaraan, gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi setidaknya di dorong oleh tiga alasan:[10]

1. Bertambahnya jumlah lembaga negara dan bertambahnya ketentuan sebagai akibat perubahan UUD 1945, menyebabkan potensi sengketa antar lemabaganegara menjadi semakin banyak. Sementara itu telah terjadi perubahan paradigma dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi, sehiongga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara pemegang supremasi kekuasaan yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang netaral untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

2. Sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratios yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukan bahwa suatu keputusan yang demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga yang berwenang menguji konstitusioonalitas UU terhadap UUD.

3. Ada kasus actual yang terjadi di Indonesia pada saat itu, yaitu pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurahman Wahid dari kursi kepresidenannya oleh MPR pada siding istimewa MPR tahun 2001. Kasus ini mengilhami tercetusnya pemikiran untuk mencari cara agar ada mekanisme hukum yang membingkai proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang tidak didasarkan atas alasan politis semata. Untuk itu, disepakati keperluan akan adanya suatu lembaga yang berkewajiban menailai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang dapat mentebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya.

Kelahiran Mahkamah Konstitusi disepakati MPR pada perubahan ketiga UUD 1945, 9 November 2001. Perihal Mahkamah Konstitusi diatur dalam termin “Kekuasaan Kehakiman,” dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) disebutkan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”[11] Selanjutnya mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam ketentuan Pasal 24 C UUD 1945, dalam ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pasal ini disebutkan:

Ayat (1) “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”[12] Ayat (2) “ Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar.”[13]

Pemisahan wewenang judicial review dan constitutional review pada sebuah lembaga Mahkamah Konstitusi, yang lepas dari lembaga Mahkamah Agung, merupakan suatu bentuk kerinduan dari seluruh rakyat Indonesia atas hukum yang adil, adanya kepastian hukum, dan dijaminnya hak-hak konstitusional mereka. Jika wewenang pengujian dan fungsi the interpreter of constitution ini diserahkan kepada Mahkamah Agung, dikhawatirkan kerinduan itu tidak segera dapat terobati, sebab tradisi yang berkembang sebelumnya, Mahkamah Agung identik dengan penumpukan perkara, dan jamak dengan perilaku-perilaku korup, yang banyak melibatkan person-person dalam institusi ini. Akibatnya, apabila wewenang menguji tersebut dipaksakan berada di Mahkamah Agung, maka yang muncul kemudian malah pelanggengan kejumbuhan hukum yang sudah mengakar terlalu lama. Oleh karenanya, tepatlah kiranya pembagian kekuasaan kehakiman ke dalam dua lembaga peradilan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung berfungsi untuk memutus perkara-perkara kasasi dan melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi menjalankan fungsi uji konstitusionalitas/constitutional review, yang terkait dengan penegakkan konstitusi sebagai hukum dasar. Jadi Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai the guardian and the interpreter of constitution.

Setelah kurang lebih empat tahun keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam system ketatanegaraan Indonesia, setidaknya lembaga ini telah memberikan banyak peran bagi penguatan hak-hak konstitusionlaitas warga negara, sekaligus juga mengawal pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang tidak sekedar slogan seperti masa Orde Baru. Meskipun pada beberapa putusannya, Mahkamah Konstitusi menuai banyak kontroversi karena dianggap tidak sesuai dengan apa yang diharapkan atau digelorakan oleh suara konstituen/khalayak umum/otoritas publik, namun keberadaan Mahkamah Konstitusi patut untuk diapresiasi, sebagai sebuah upaya untuk terus memberikan perlindungan dan jaminan terhadap pelaksaan hak-hak konstitusionalitas warga negara, agar tidak dirong-rong oleh kesewenang-weanangan penguasa dan aturan kekuasaan. Selama usianya yang kurang lebih empat tahun, Mahkamah Konstitusi sedikitnya telah memutus 90 perkara uji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang dasar, 274 perkara perselisihan pemilihan umum, dan empat perkara sengketa kewenangan antar lembag negara.[14] Meskipun pengujian hak-hak warga negara secara individu (constitutional complaint) belum dimungkinkan dalam Mahkamah Konstitusi yang sekarang, tetapi sebagai permulaan perkembangan Mahkamah Konstitusi pada sisi the guardian of constitution sudah ekuivalen dengan semangat negara hukum yang demokratis, meski pada sisi yang lain kerap mengecewakan, hal itu mungkin akibat kewenangan Mahkamah Konstitusi yang terlalu besar. Ke depan sebaikanya ada pembatasan-pembatasan yang signifikan terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi, terutama mengenai mekanisme pengambilan dan hasil putusannya. Selain itu, evaluasi yang lain adalah terkait dengan sifat mengikat putusan Mahkamah Konstitusi, sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang hanya sekedar bersifat final (tidak ada upaya hukum lagi), tetapi tidak bersifat binding (mengikat), sepertinya menimbulkan problem tersendiri. Walaupun sifat final dapat diinterpretasikan langsung berlaku mengikat (binding), akan tetapi yang terjadi selama ini, putusan Mahkamah Konstitusi kerap kali hanya menjadi macan kertas, yang tidak mempunyai kekuatan implementatif dilapangan, karena tidak ada lembaga eksekutorial yang mampu menekan organ pembentuk undang-undang dan lembaga-lemabag negara lainnya untuk melaksanakan putusan tersebut. Orientasi ke depan, sepertinya hal ini patut untuk difikirkan.


[1] Saafroedin Bahar, dkk (penyunting), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 22 Mei 1945-22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 183.

[2] Ibid. hal. 299.

[3] Ibid. hal. 305-306.

[4] Ibid. hal. 306.

[5] Harun Alrasid, Hak Menguji dalam Teori dan Praktek, makalah tidak diterbitkan.

[6] Ibid.

[7] Kemelut ini sebenarnya bisa dipahami sebagai sebuah upaya untuk mencari suatu system yang benar-benar tepat dan pas bagi Indonesia, jadi wajar jika di awal kemerdekaan sering terjadi perubahan system pemerintahan dan ketatanegaraan, hal itu merupakan proses bagi Indonesia dalam menuju suatu system yang civilize.

[8] Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

[9] Ibid.

[10] Mahkamah Konstitusi Republic Indonesia, Menegakkan Negara Hukum yang Demokratis: Catatan Perjalanan Tiga Tahun Mahkamah Konstitusi 2003-2006, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, 2006), hal. 28.

[11] Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.

[12] Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945.

[13] Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945.

[14] Mahkamah Konstitusi Republic Indonesia, dalam Op. Cit. hal. 112-114.

Published by

One response to “Ajaran Constitutional Review dan Judicial Review di Indonesia”

  1. Salam kenal dari saya, boleh donk buat referensi.
    saya lagi perlu bgt buat tugas d kampus…
    bolah ya…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: