Sebagai upaya untuk tetap menjaga netralitas dan independensi Mahkamah Konstitusi, distribusi kewenangan seleksi hakim konstitusi diperlukan. Terhadap hal ini, ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, mengatur bahwa DPR, MA dan Presiden, berhak mengajukan masing-masing tiga calon hakim konstitusi, yang selanjutnya akan ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Distribusi kewenangan ini menjadi penting, agar MK mampu menjaga harmoni, antar tiga cabang kekuasaan yang ada, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Khususnya dalam kerangka penguatan cheks and balances, antar cabang kekuasaan tersebut. Berkait dengan kewenangan yang diberikan undang-undang, serta telah berakhirnya masa jabatan hakim konstitusi periode 2003-2008, DPR sudah memilih tiga orang hakim konstitusi, untuk periode 2008-2013. Satu orang incumbent, dan dua lainnya mantan aktivis partai politik. Sementara MA, meski tidak tersiar kabar di luar tentang proses seleksi hakim MK di MA, dua hakim konstitusi pilihannya telah resmi duduk di MK. Sedangkan Presiden, meski dalam waktu yang sangat terbatas, melalui Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), tengah mengadakan proses seleksi.
Perintah Undang-Undang
Pasal 15 UU No. 24/2003 secara tegas menyatakan, seorang hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, mampu berlaku adil, serta seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Syarat kualitatif yang ditetapkan undang-undang tersebut, nampaknya sukar sekali diimplementasikan dalam kriteria-kriteria yang sifatnya teknis. Membutuhkan rekam jejak panjang, untuk mencermati seorang calon benar-benar memenuhi prasyarat di atas. Namun demikian, tiga syarat yang terkesan abstrak tersebut, sebenarnya memberi pesan kepada khalayak, bahwa tidak semua orang bisa dengan mudah menduduki jabatan hakim konstitusi. Fungsi MK, sebagai pengawal (the guardian) dan penafsir (the interpreter) konstitusi, tentunya memberi tanggung jawab yang teramat besar bagi para hakim konstitusi yang duduk di dalamnya. Hakim konstitusi harus mampu melindungi seluruh warga bangsa, bersikap imparsial, dan independen.
Mengingat besarnya kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi, serta beratnya tanggung jawab seorang hakim konstitusi, Pasal 19 UU MK mengatur, bahwa pencalonan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Keharusan ini dimaksudkan, agar masyarakat luas bisa turut serta secara aktif, mengetahui setiap proses yang berjalan, dan dapat berperan aktif memberi masukan atas calon yang diajukan, baik oleh DPR, MA, maupun Presiden. Terkait dengan proses seleksinya sendiri, Pasal 20 ayat (2) UU MK memberi ketegasan, pemilihan hakim konstitusi wajib diselenggarakan secara objektif dan akuntabel. Artinya, yang diutamakan adalah profesionalitas, kredibilitas, dan kapabilitas dari para calon, bukan penilaian yang didasarkan pada unsur subjektifitas. Dan keseluruhan prosesnya dapat dipertanggungjawabkan secara tanggung gugat (accountable).
Tarik Ulur Kepentingan
Supernya kewenangan yang dimiliki oleh MK, berimplikasi pada banyaknya pihak yang mencoba melakukan intervensi terhadap pelaksanaan kewenangan tersebut. Terutama wewenang yang berkait dengan penyelesaian konflik politik kekuasan. Misalnya kewenangan untuk melakukan pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu, dan pemberian rekomendasi kepada DPR, ketika terjadi pemakzulan (impeachment) terhadap presiden. MK diberi wenang untuk menyatakan presiden bersalah atau tidak bersalah. Karenanya keberadaan MK sangatlah strategis, khususnya bagi para pelaku politik, demi menjaga kepentingannya.
DPR sebagai cerminan partai politik, jelas berkepentingan terhadap MK. Mereka berkepentingan untuk menyelamatkan dan mengamankan posisi partainya. Sementara presiden, terang dia mempunyai kepentingan untuk mengamankan jabatannya, dari desakan pihak oposisi, jika suatu saat terjadi pemakzulan. Nah, sebenarnya penjaga gawang terakhir, untuk menjaga netralitas dan independensi MK, ada pada Mahkamah Agung. Sayangnya, hingga detik ini nampaknya kita belum pantas memberi kepercayaan, terhadap lembaga yang selalu mengagung-agungkan ketertutupannya ini.
Watak tertutup MA, khususnya dalam pemilihan hakim konstitusi, terbukti dengan tidak adanya sedikit pun informasi kepada publik, tentang proses seleksi hakim konstitusi di MA. Padahal UU MK tegas memberi perintah, seleksi hakim konstitusi mesti dilaksanakan secara partisipatif, transparan, objektif, dan akuntabel. Jelas seleksi hakim konstitusi di MA tidak memenuhi semua unsur tersebut, karena tidak ada pemberitahuan sama sekali kepada masyarakat tentang proses tersebut. Kita juga tak pernah tahu, mekanisme apa yang digunakan MA, dalam menentukan hakim konstitusi pilihannya. Apakah kredibilitas, ataukah sekedar bagi-bagi jabatan diantara mereka? Keharusan untuk bersifat partisipatif, transparan, objektif dan akuntabel dalam UU MK, tentunya berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia, bukan hanya di lingkungan MA dan para pegawainya.
Berharap pada Presiden
Tentu kita tidak menginginkan proses yang terjadi di MA diulangi oleh Presiden. Meski kewenangan untuk menentukan hakim konstitusi pilihan presiden adalah bagian dari hak prerogatif presiden, namun ketentuan UU MK tetap tak bisa dilanggar. Dengan waktu yang terbatas, syarat dan prosedur mesti dipenuhi dan dijalani, tidak sesuka hati memilih orang, sekedar untuk mengamankan kepentingan politik sesaat.
Konstitusi adalah norma tertinggi, MK adalah pengawal dan penafsir konstitusi, sekaligus pelindung hak-hak konstitusional warganegara, karenanya sangatlah tidak etis, bilamana proses seleksi untuk memilih hakim MK justru melanggar konstitusi. Pentingnya keberadaan MK bagi kelanjutan demokrasi, serta pemajuan dan penegakkan hak-hak konstitusional warganegara, sebagai bagian dari hak asasi manusia, menjadikan MK harus diisi oleh sosok-sosok manusia pilihan. Sosok manusia setengah dewa.(*)
Leave a Reply