WahyudiDjafar's Blog

law, human rights, internet, and security

Satgas Harap-Harap Cemas

Kita semua memahami, penegakan hukum di negeri ini cenderung ‘kuat ke bawah, namun lemah ke atas’. Pemahaman ini makin terlihat ke permukaan, pasca-kasus yang menimpa dua pimpinan KPK, mengguritanya kasus Prita dan Nenek Minah, serta sejumlah kasus yang memakan ‘korban’ rakyat miskin, di beberapa daerah. Hukum seperti diciptakan untuk menekan mereka yang lemah, guna membela kepentingan yang kuat. Sungguh menjadi ironi, bagi negara yang konstitusinya secara terang menganut paham ‘negara hukum’, namun ‘kekuasaan’ justru cenderung menjadi hukum.

Melihat gelap dan gawatnya persoalan yang melingkupi jagat penegakan hukum, pemerintahan Presiden Yudhoyono menjawabnya dengan pembentukan satuan tugas pemberantasan mafia hukum. Satgas ini dibentuk melalui Keppres No. 37 Tahun 2009. Tugas yang dibebankan pada Satgas ini adalah untuk berkoordinasi, evaluasi, koreksi, dan pemantauan, agar pemberantasan mafia hukum berjalan efektif. Kemudian untuk menunjang pelaksanaan tugasnya, Satgas diberi wewenang untuk melakukan penelaahan, penelitian, dan tindakan lainnya, guna mendapatkan informasi terkait mafia hukum. Selain itu, Satgas juga dimungkinkan untuk bekerja sama dengan institusi negara yang lain, dalam memberantas mafia hukum.

Sistemiknya Mafia Hukum

Praktik mafia hukum sesungguhnya terjadi pada semua tahapan, baik pada tahap pembentukan hukum (law making process), maupun di tingkat penegakan hukumnya (law enforcement). Banyaknya anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terjerat kasus korupsi, dan kasus hilangnya ‘satu ayat’ dalam UU Kesehatan, memperlihatkan eksis dan betapa bahayanya mafia hukum, di tingkat pembentukan hukum.

Di level penegakan hukum, korupsi dan sogok-menyogok dalam lingkungan peradilan (polisi, kejaksaan, dan pengadilan), sudah dianggap sebagai hal yang biasa dan telah membudaya. Ada kecenderungan perilaku yang hampir sistemik, untuk menegaskan lelucon lama, kritik terhadap formalisme, bahwa membawa perkara ke aparat penegak hukum juga siap dengan resiko ‘membungakan’ perkara. Lapor kehilangan kambing, maka akan kehilangan sapi, kehilangan meja maka akan menggadaikan rumah.

Lebih parahnya, hasil sidak Satgas ke Rutan Pondok Bambu, dan membaca tulisan Rahardi Ramelan, yang menguraikan pengalamannya selama di LP Cipinang, mengungkap fakta, dalam tahapan rehabilitasi pun, hukum masih ‘diperjual-belikan’.

Kenyataan di atas memperlihatkan, betapa sistemik dan terstrukturnya praktik mafia hukum di Indonesia, terjadi dari hulu sampai hilir. Amerika Serikat pada periode 1950-1960-an pun pernah mengalami masa-masa gelap penegakan hukum seperti Indonesia, dimana praktik mafia hukum dan kelompok organisasi kejahatan lainnya, mengakar kuat dalam struktur sosial masyarakat Amerika. Diungkapkan G. Taylor, “… firmly rooted in the social structure, it is protected by corrupt politicians and law enforcement officers, and legal advice…”. Sedangkan aktivitas mafia itu sendiri melingkupi beragam hal, seperti: “corrupt public officials in executive, law enforcement, and judicial roles so that their activities can avoid, or at least receive early warnings about, investigation and prosecution” (G. Taylor, 1962).

Belenggu Kepastian Hukum

Paradigma yang menyatakan, hukum adalah preskripsi terbatas berdasarkan kerangka legal atau perundang-undangan, telah menjadikan sesat pikir dalam penegakkan hukum. Pemikiran ini menjadikan hukum selalu terpisah dari faktor-faktor sosial-politik, tidak saling interkoneksi tetapi terlepas satu sama lain. Akibatnya, adil menurut hukum dimaknai sekedar telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Seorang aparat penegak hukum dikatakan telah bertindak adil, bilamana tindakan atau keputusan yang diambilnya telah didasarkan atas peraturan perundang-undangan, meskipun keputusan itu luput dari pertimbangan kemanusian dan spiritualitas.

Keadilan hukum didistorsi sedemikaan rupa, sebatas otak-atik suatu pasal undang-undang, untuk dijadikan dasar memenangkan perkara. Penafsiran tekstual-gramatikal tentang hukum, dengan dalih kepastian hukum itulah, yang selama ini turut serta menyuburkan dan menguatkan praktik mafia hukum. Para mafia hukum bersembunyi dibalik kelindan pasal-pasal hukum.

Bahwa kepastian hukum itu penting, tetapi keadilan substantif menjadi lebih penting untuk ditegakan, guna menghindari ‘perilaku koruptif’ yang dibungkus dengan kepastian hukum. Lebih ironis lagi, jika pasal hukum yang menjadi alasan kepastian hukum, justru dibuat dengan tindakan manipulatif-koruptif, yang di dalamnya diintervensi oleh kekuatan para mafia hukum.

Sistem Bukan Kasus

Kesan pertama yang ditampilkan oleh Satgas, adalah mereka hendak melakukan pemberantasan mafia hukum dengan cara penyelesaian kasus per kasus. Kesan ini diperkuat dengan dibukanya kotak pengaduan masyarakat bilamana terjadi tindakan mafia hukum, dan penggunaan metode ‘inspeksi mendadak’. Dengan tindakan semacam ini, tentu tidak akan cukup waktu bagi Satgas, untuk memberantas praktik mafia hukum secara menyeluruh, mengingat sistemik dan terstrukturnya praktif mafia hukum di Indonesia. Limitasi waktu dua tahun bagi kerja Satgas, menjadikan Satgas harus bekerja lebih komprehensif dan dengan skala besar.

Belajar dari Senate Special Committee to Investigate Organized Crime dan Commission on Law Enforcement and Administration of Justice di Amerika Serikat, Satgas pemberantasan mafia hukum harus melakukan pembenahan dan perbaikan sistem dalam berhukum, yang selama ini memberi celah bagi tumbuhnya praktik mafia hukum. Rekomendasi terkenal dari Satgas pemberantasan mafia di Amerika Serikat adalah pembentukan The Racketeer Influenced and Corrupt Organizations Act (18 U.S.C.A. § 1961). Undang-undang ini berupaya menjerat seluruh bentuk praktik mafia hukum, di dalamnya mencakup: extortion, money laundering, federal drug offenses, bribery, dealing in obscene matter, counterfeiting, embezzlement, obstruction of justice, obstruction of law enforcement, tampering with witnesses, filing of a false statement to obtain a passport, passport forgery and false use or misuse of a passport, slavery, unlawful receipt of welfare funds, interstate transport of stolen property, sexual exploitation of children, criminal infringement of copyrights, trafficking in contraband cigarettes, white slavery, violation of payment and loan restrictions to labor unions, etc.

Selain itu, Satgas ini juga merekomendasikan pembentukan beberapa program, seperti witness protection programs, yang di dalamnya juga memberikan perlindungan kepada saksi pelapor (whistleblower).

Melihat contoh di atas, menjadi tidak tepat jika kemudian pola kerja Satgas memilih difokuskan pada kasus per-kasus, dan tidak perlu juga Satgas ini diberi kewenangan penindakan. Karena metode kerja yang demikian, malah menjadikan Satgas tidak ada ubahnya dengan aparat penegak hukum, yang sedang mereka coba perbaiki. Kasus hanyalah sampel untuk mencari pola-pola praktik mafia hukum di tiap sektor, untuk kemudian menjadi bahan dalam menyusun strategi besar pemberantasan mafia hukum dan perbaikan sistem hukum secara umum. Justru, yang perlu dibuat untuk menunjang kerja Satgas, adalah pembentukan ‘task forces’ di tiap daerah, yang akan membantu kerja Satgas, mengingat luasnya wilayah dan terstrukturnya praktik mafia hukum.

Di tingkat pembentukan hukum, Satgas harus menemukan pola-pola kerja mafia hukum pada setiap proses pembentukan undang-undang, untuk kemudian merekomendasikan sistem yang dapat meminimalisir perilaku korupsi politik di parlemen. Di level penegakan hukum, Satgas dapat bekerjasama dengan komisi-komisi negara yang memang dibentuk untuk membantu (auxiliary agencies) mempercepat perbaikan institusi hukum, seperti KY, KPK, Kompolnas, dan Komisi Kejaksaan. Pada tingkat pelayanan, seperti keimigrasian, perizinan, bea dan cukai, setidaknya Satgas dapat melakukan pemetaan pola-pola mafia, dan merekomendasikan satu sistem yang mampu melibas praktik tersebut.

Lebih jauh, untuk memberantas praktik mafia hingga ke akar-akarnya, Satgas dapat melakukan penelaahan terhadap kurikulum pendidikan hukum, sekiranya di titik mana dari kurikulum pendidikan hukum kita, yang memberi peluang bagi kelahiran para mafia hukum. Dengan waktu yang terbatas, tentu butuh kerja luar biasa keras untuk melakukan itu semua. Tetapi itu semua musti dilakukan, agar Satgas tidak sekedar menambah daftar panjang kerumitan masalah dunia hukum kita. []

Jurnal Nasional, 30 Januari 2010

Published by

3 responses to “Satgas Harap-Harap Cemas”

  1. dahsyat…

  2. oke…beta su baca alu pung artikel…mantap coy

  3. harusnya pak sby menunjuk orang yang di bawah yang jadi satgas pemberantasan mafia hukum….takutya kalau orangnya dari anggota hukum juga malah jadi nanti bersekongkol dengan tersangka para koruptor…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: