Pada Jaman Romawi Kuno dikenal adanya istilah criminal extra ordinaria, yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Ketika hukum Romawi kuno diterima oleh raja-raja Eropa Barat, istilah criminal extra ordinaria diterima pula. Kondisi ini kemudian memungkinkan raja-raja yang berkuasa untuk bertindak sewenang-wenang terhadap perbuatan-perbuatan –yang dikatakan jahat-, namun belum diatur di dalam undang-undang. Lahirnya Magna Charta Libertatum di Inggris pada 1215 merupakan salah bentuk reaksi terhadap praktik kesewenang-wenangan raja di masa itu. Ini adalah fase pertama ketika manusia mulai memikirkan dan memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia. Upaya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia sebenarnya telah ada sebelum lahirnya Magna Charta. Kitab suci agama Hindu, Veda, telah membicarakan perlunya penghormatan atas hak-hak asasi manusia sejak 3000 tahun yang lalu. Piagam Madinah yang ditandatangani Nabi Muhammad SAW pada abad ke 6 Masehi, sebenarnya juga merupakan deklarasi kesepakatan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.[1]
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan. Perlindungan terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada mulanya dilakukan melalui perjuangan dengan asas politik, yakni dengan menghadapkan kepentingan rakyat vis a vis kekuasaan raja yang absolut. Akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum. Asas-asas hukum ini dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jamian kepastian hukum (rechtszekerheid). Pelopor perjuangan politik dan hukum di Inggris adalah John Locke (1760).[2]
Perjuangan rakyat Inggris tersebut kemudian berkembang hingga ke Perancis, sebagai bentuk perlawanan atas kesewenag-wenangan raja Louis XIV, dengan simbol Penjara Bastille sebagai simbol kekuasaan raja yang despotis. Perjuangan rakyat Perancis dipengaruhi oleh dua orang filsuf paling terkemuka Abad Pencerahan, Charles Montesquieu (1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Montesquieu lewat bukunya L’esprit des Lois (1748) dan bukunya Rousseau “Dus Contrat Social, ou principes du droit politique” (1762) memperkenalkan pemikiran asas legalitas, sebagai bentuk perlawanan terhadap konsep Let’s ces moi, yang didengungkan Raja Louis. Selain dipengaruhi oleh kedua filsuf tersebut perkembangan asas legalitas di Perancis juga dipengaruhi oleh Marquis de Lafayette, seorang sahabat George Washington, yang membawa pemikiran asas legalitas dari Amerika ke Perancis. Di Amerika, ketentuan asas legalitas sudah dicantumkan dalam Declaration of Independence 1776, di sana disebutkan tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan. Pemikiran asas legalitas kemudian diimplementasikan sebagai undang-undang dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789). Asas ini kemudian dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte (1801). Bunyi ketentuan ini adalah bahwa “ Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah.”[3] Beccaria, dalam “Dei delitti e drllee pene” (Over misdaden en straffen 1764) juga menyatakan bahwa individu harus dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang. Oleh karenanya perlu dibuat suatu hukum sebelum delik itu terjadi. Hukum itu harus mengatur dengan jelas dan tegas, sehingga bisa memberi petunjuk dalam menjalankan peradilan pidana.[4]
Perjalanan selanjutnya, Von Feuerbach seorang sarjana Jerman, merumuskan adagium “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.” Bahwa tidak delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini terkandung dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts (1801). Asas legalitas yang dikemukakan oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian:[5]
1. Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-undang.
2. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif).
Ketentuan asas legalitas diakui pertama kali oleh konstitusi Amerika Serikat tahun 1783, dicantumkan dalam Article I Section 9 yang berbunyi: “No bill of attainder or ex post pacto law shall be passed”. Lalu diikuti oleh Perancis di dalam Declaration des droits de L’homme et du citoyen 1789. Selanjutnya ketentuan ini diikuti oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental –kepastian hukum dijunjung tinggi-.
Tujuan yang ingin dicapai dari asas legalitas itu sendiri adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law.[6] Di satu sisi asas ini memang dirasa sangat efektif dalam melindungi hak-hak rakyat dari kesewang-wenangan penguasaa. Namun, efek dari pemberlakuan ketentuan asas legalitas adalah, hukum kurang bisa mengikuti perkembangan pesat kejahatan. Ini menjadi kelemahan mendasar dari pemberlakuan asas legalitas. E Utrecht mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).[7]
Penyimpangan Terhadap Ketentuan Asas Legalitas
Pada perkembangannya kejahatan dikategorikan menjadi dua kriteria, kejahatan yang sifatnya nasional dan kejahatan yang sifatnya internasional. Kejahatan nasional adalah kejahatan yang dianggap sebagai suatu perbuatan jahat menurut masyarakat di suatu negara. Untuk itu kejahatan nasional ditentukan oleh masyarakat dan lembaga pembentuk undang-undang di suatu negara. Sementara kejahatan internasional adalah kejahatan yang dianggap oleh masyarakat internasional sebagai perbuatan jahat. Penentuan jenis kejahatan internasional dilakukan atas dasar suatu kebiasaan yang terpelihara dikalangan negara-negara. Selanjutnya kebiasaan ini kemudian dikodifikasikan dalam suatu bentuk perjanjian yang sifatnya multilateral (banyak negara). Setelah melalui pertimbangan di dalam negeri masing-masing peserta perjanjian, maka hasil perjanjian tersebut akan diratifikasi/diadopsi ke dalam hukum nasional masing-masing negara peserta. Sampai sekarang yang dikenal dengan kejahatan internasional adalah kejahatan bajak laut dan bentuk kejahatan yang disebutkan dalam statuta pembentukan International Criminal Court (ICC), yaitu melipuiti: Kejahatan genosida, Kejahatan terhadap kemanusian, Kejahatan perang, Kejahatan melancarkan perang agresi. Dalam ketentuan hukum internasional, konsep pemberlakuan asas retroaktif hanya boleh diterapkan terhadap bentuk-bentuk kejahatan internasional, yaitu bentuk-bentuk kejahatan yang telah disebutkan dalam statuta pembentukan Mahkamah Pidana Internasional.
Pemberlakuan asas retroaktif (penyimpangan terhadap asas legalitas) sejatinya bukan hal baru dalam dunia hukum. Proses peradilan penjahat perang Nuremberg (1946), Tokyo (1948), Rwanda (1993) dan Yugoslavia (1996) adalah deretan contoh pemberlakuan asas berlaku surut untuk menyeret para tersangka ke depan meja hijau. Penerapan asas retroaktif secara terbatas ini jelas membuktikan bahwa asas hukum non-retroaktif bukan lagi asas hukum yang bersifat universal. Indonesia sebagai negara yang menempatkan prinsip legalitas dapat menerapkan asas retroaktif dalam suatu kasus pidana yang memiliki kekecualian dalam sifatnya. Misalnya, diterapkan terhadap kasus dalam hukum pidana yang berkaitan dengan kejahatan yang dinamakan criminal extra ordinaria[8] atau kejahatan yang tidak ada pengaturannya dalam hukum tertulis. Asas retroaktif juga diterapkan terhadap kasus yang mengakibatkan pembalasan atau asas (lex talionis), tidak adanya kepastian hukum dan dikhawatirkan dapat menimbulkan kesewenangan dari pelaksana hukum dan elite politik dengan akibat eksesif adanya suatu balas dendam politik, yang berakibat chaos-nya suatu negara.
[1] Mansor Faqih, Menegaskan kembali Komitemen HAM, dalam Jurnal Wacana Edisi 8 Tahun II 2001, hal. 4.
[2] Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, 1994, (Jakarta: Ghalia Indonesia), hal. 68-69.
[3] Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2002, (Jakarta: Rineka Cipta), hal. 24.
[4] Bambang Purnomo, op.cit, hal. 69.
[5] Moeljatno, op.cit, hal. 25.
[6] A Ahsin Thohari, Dimensi Historis Asas Retroaktif, dalam www.kompascybermedia.com, 19 Februari 2005, dikutip dari Muladi, 2002.
[7] Ibid.
[8] Seperti halnya perdebatan yang muncul dalam sejarah lahirnya asas legalitas di jaman Romawi Kuno, dimana disinggung bentuk-bentuk kejahatn yang tidak diatur di dalam undang-undang.
Leave a Reply