Perempuan dan Internet: Berbagai Sisi Kerentanan

Published by

on

perempuanKasus Baiq Nuril di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang dinyatakan bersalah menyebarkan konten bermuatan kesusilaan melalui internet, menarik untuk dilihat lebih jauh hubungan antara perempuan dengan internet. Dari kronologisnya, Nuril sesungguhnya adalah korban kekerasan seksual, namun dia justru dikenakan hukuman pidana saat berupaya mengungkap kasus tersebut. Kasus ini dapat menjadi salah satu contoh betapa rentannya perempuan dalam pemanfataan teknologi internet, khususnya pada masalah kejahatan siber melawan perempuan (cybercrime against women). Namun demikian, masalah perempuan dan internet, tentu tidak semata-mata pada isu kriminalisasi, ada sejumlah soal lain, yang bila diidentifikasi setidaknya dapat dipetakan menjadi tiga permasalahan: (1) Akses, dapat dilihat dari dua sisi: layanan akses (infrastruktur), dan akses konten informasi; (2) Viktimisasi, bentuknya beragam: kriminalisasi, online harassment, dan bentuk cyber abuse lainnya; (3) Privasi, mulai dari cyber stalking, impersonation, disclosure of identity & personal data, illegal access.

Dalam masalah akses, data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 menunjukan, dari total 132,7 juta pengguna internet di Indonesia, 52,5% diantaranya laki-laki, dan 47,5% perempuan. Komposisi ini terkonsentrasi di Jawa (65%), dan selebihnya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusra, Maluku, dan Papua. Bahkan survey yang dilakukan Web Foundation (2015) menunjukan, hanya 20% perempuan miskin kota di Indonesia yang memiliki akses Internet. Angka ini meningkat hingga 31% diantara perempuan miskin di Jakarta. Hanya segelintir perempuan yang menggunakan Internet sebagai media berekspresi (5%), atau mencari informasi penting mengenai hak-hak mereka—hak kesehatan, reproduksi, dan hukum (26%). Separuh pengguna internet perempuan di dunia menggunakan internet untuk mencari kerja. Sementara platform online paling populer bagi perempuan adalah Facebook, namun sebagian besar pengguna internet tidak pernah membuka tautan (link) ke website atau platform lain yang disediakan.

Selain problem infrastruktur akses, soal lain yang dihadapi perempuan terkait akses, adalah pada isu akses terhadap konten informasi itu sendiri, terutama terkait dengan masalah pemblokiran dan penapisan konten internet (blocking/filtering). Dalam hukum Indonesia, pembatasan konten internet diatur paling tidak di UU Informasi dan Transaksi Elektronik; UU Pornografi, dan UU Hak Cipta. Sayangnya ketiga undang-undang tersebut (kecuali hak cipta), tidak mengatur secara detail tentang kategori-kategori konten yang bisa dibatasi aksesnya. Selain itu, undang-undang juga tidak mengenai mekanisme dan prosedur dilakukannya filtering dan blocking, sehingga ada kecenderungan abusive dalam tindakannya. Kominfo memiliki program database Trust + untuk crawling konten-konten negatif di Internet. Situs yang masuk dalam daftar hitam akan diedarkan ke seluruh ISP’s untuk kemudian dilakukan pemblokiran. Proses crawling yang salah satunya mendasarkan pada “kata kunci”, dalam beberapa kasus kemudian berdampak pada terjadinya over blocking. Situs-situs yang kontennya seharusnya tidak masuk daftar blocking, karena memiliki kemiripan kata kunci, turut serta terblokir. Sebagai contoh yang terkait dengan kesehatan reproduksi, ibu menyusui, dll.

Sementara pada isu viktimisasi, di era internet saat ini, konsep viktimisasi perempuan tidak lagi terbatas dalam arti kekerasan fisik yang dilakukan oleh laki-laki. Korban perempuan mencakup pula korban pelecehan fisik dan psikologis (Dekeseredy, 2010). Internet telah mengarahkan pada konsep viktimisasi dalam bentuk pelecehan emosional, yang efeknya tetap sama dengan pelecehan fisik. Dalam beberapa kasus, korban sampai berada dalam situasi kengerian, akibat “penyiksaan emosional” yang dilakukan di dunia maya. Uniknya, kasus ini terjadi hanya pada perempuan. Faktor pembeda terbesar dalam kasus kejahatan cyber, antara laki-laki dan perempuan, adalah terletak pada motif, cara pengorbanan, dan efek samping dari kejahatan terhadap korban (Debarati Halder and K. Jaishankar, 2012).

Viktimisasi perempuan dalam berinternet, berbeda gradasi dampaknya dengan tindakan serupa yang dilakukan terhadap laki-laki. Secara umum, kejahatan cyber, seperti hacking, phishing, cyber squatting, pencurian identitas, pengintaian, intimidasi online, penghinaan online dll, memang selalu menargetkan laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, pada tindakan tertentu, seperti email/hacking profil, morphing, spoofing, publikasi cabul, cyber spalking, pornografi cyber, voyeurisme internet, penghinaan cyber, cyber bullying, pelecehan e-mail, pemerasan cyber/ancaman, kecurangan emosional oleh peniruan identitas (Whitty, 2005), kekerasan pasangan intim melalui internet (Jenson, 1996), lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Selain itu, cyber attack pada perempuan juga membuat dia lebih trauma daripada laki-laki. Serangan terhadap perempuan dilakukan untuk menghancurkan reputasi pribadi mereka, menciptakan ketakutan akan keamanan fisik dan juga kerugian finansial (Citron, 2009).

Sebaliknya, laki-laki lebih banyak ditargetkan untuk keuntungan ekonomi ilegal. Laki-laki umumnya menjadi korban hacking dan phishing dan mereka tidak terpengaruh oleh cyber stalking/bullying atau penghinaan. Faktanya, cyber ​​bullying dan fitnah online dapat menyebabkan cyber sexual attack terhadap perempuan, dan tidak terjadi pada laki-laki; Dalam kasus laki-laki yang menjadi korban perempuan, korban perempuanlah yang menderita; Tapi dalam kasus perempuan yang menjadi korban perempuan, baik pelaku maupun korban menjadi penderita (Debarati Halder and K. Jaishankar, 2012).

Dalam konteks privasi, umumnya kasusnya terkait dengan pelecehan online, selain isu soal impersonation, atau yang paling baru isu dampak dari massifnya IoT (Internet of Things) dan smart devices terhadap privasi perempuan. Bahaya paling ekstrim dari pelecehan online (online harassment) adalah dampaknya pada kehidupan nyata (real world), karena pelecehan online sesungguhnya sama parahnya dengan offline, seperti ancaman kematian, ancaman pemerkosaan atau ancaman untuk melukai atau menghina. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari:

  1. Author abuse, yakni merendahkan dan menghina ucapan yang ditargetkan pada perempuan yang memposting suatu artikel atau komentar;
  2. Cyber ​​bullying atau pelecehan berulang (perundungan) dengan menampilkan kekuatan untuk mengancam dan mengintimidasi;
  3. Cyber stalking dengan cara menguntit target menggunakan sarana elektronik; Serangan yang tidak terkait dengan konten, dan ditujukan pada perempuan, seperti “Anda dibayar berapa untuk menulis ini?“;
  4. Dismissive trolling atau komentar seperti “Tenang, Sayang“, atau ucapan mengejek dan mempermalukan;
  5. Doxing, ketika informasi pribadi atau identifikasi diungkapkan secara online sehingga dapat mengganggu dan mengintimidasinya, serta mengajak pihak lain untuk menyerang;
  6. Sly tweeting, atau pelecehan tidak langsung tanpa menyebutkan namanya, tapi perempuan tahu itu adalah targetnya;
  7. Bentuk-bentuk lain yang berbasis gambar dan video, seperti: mengambil gambar dari internet, Facebook atau gambar profill, dimanipulasi dan digunakan untuk memeras; foto-foto perempuan yang dirusak digunakan untuk mengintimidasi, mempermalukan atau menciptakan ‘halaman kebencian’ di Facebook; fenomena ‘balas dendam’ seperti mantan teman laki-laki/suami yang mengunggah foto/video intim dengan maksud jahat untuk melecehkan dan memeras.

Selanjutnya masalah paling umum yang sering ditemui saat ini, adalah kriminalisasi perempuan pengguna internet, dengan beragam latar belakang kasusnya, yang dapat dikualifikasikan sebagai cyber crimes against wowen. Apakah cyber crimes against women? Menurut Debarati Halder dan K. Jaishankar (2012), kejahatan ini ditujukan terhadap perempuan dengan motif untuk sengaja menyakiti korban, menggunakan jaringan telekomunikasi modern seperti Internet (ruang Chat, email, laman, media sosial, jejaring sosial—private atau group) dan telepon genggam (SMS/MMS). Bentuknya dapat berupa seksual atau non-seksual; mencakup kejahatan online seperti hacking, morphing, spoofing, publikasi cabul, cyber stalking, pornografi cyber, voyeurisme internet, invasi privasi yang kuat, penghinaan online, cyber bullying, pelecehan e-mail, pemerasan cyber dan ancaman, kecurangan emosional (emotional cheat) dengan peniruan identitas internet, dan kekerasan pasangan melalui internet; tidak terbatas pada kejahatan ekonomi seperti phishing atau pencurian identitas; dilakukan dengan motif kriminal karena sengaja merugikan reputasi korban; mencakup situasi dimana pelaku dan korban mungkin tidak memiliki interaksi pribadi atau profesional sebelumnya; berakibat traumatic pada korban, dan mungkin juga mengancam keamanan fisik korban; dapat dilakukan oleh pelaku laki-laki atau perempuan, tetapi kelompok korban yang ditargetkan hanya terbatas pada perempuan saja.

Bagaiamana situasinya di Indonesia?

Dari 35 kasus pelaporan pidana terhadap perempuan yang terekam, mayoritas diantaranya adalah kasus penghinaan, sebanyak 29 kasus (83%), penyebaran kebencian 3 kasus (8%), kesusilaan 2 kasus (6%), dan pengancaman 1 kasus (3%). Mayoritas kasusnya adalah kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah (legitimate expression), dan reviktimisasi korban. Mayoritas korban dan pelaku (dalam proses pelaporan), adalah khalayak umum (warga). Sebanyak 20 kasus terjadi di Jawa, 6 di Sumatera, 4 di Sulawesi, 4 di Nusra, dan 1 di Kalimantan. Ini merfleksikan konsentrasi akses yang masih terpusat hanya di pulau Jawa. Bagaimana setelah pemerataan infrastruktur?

  • Penghinaan online

Sesaat setelah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan pada 2008, perempuan langsung menjadi target pemidanaan. Kasus Prita Mulyasari di Tangerang, menghenyak publik. Seorang Ibu Rumah Tangga, dengan anak yang masih balita, harus menjalani penahanan. Dia dituduh menghina seorang dokter di sebuah rumah sakit swasta, karena berkirim email melalui sebuah milist-group, untuk mengingatkan rekan-rekannya, atas dugaan mala-praktik. Sesudahnya banyak perempuan berjatuhan, Ervani Handayani di Bantul, pada 2014, dilaporkan oleh manajer suaminya, karena mengkritik pemberian sanksi terhadap suaminya. Bahkan Ervani harus menjalani penahanan dalam kasusnya. Yusniar di Makassar, pada 2016, juga harus menjalani penahanan 30 hari, hanya karena menulis status no-mention di akun facebooknya, dia dilaporkan oleh seorang anggota DPRD, yang merasa tersinggung dengan status tersebut. Kasus-kasus ini tentunya kian mempersempit ekspresi perempuan di Internet. Selain terkendala oleh minimnya akses dan keterjangkauan, kasus-kasus pembungkaman terhadap pendapat perempuan telah melahirkan efek jeri yang menangkutkan untuk berekspresi.

  • Kekerasan (seksual) berujung pelaporan pidana kesusilaan

Sebelum kasus Baiq Nuril, kasus serupa pernah terjadi di beberapa tempat. Wisni Yetti dari Bandung, pada 2015, sempat divonis bersalah lima bulan penjara dan denda 100 juta rupiah, karena dituduh telah melakukan chat mesra dengan temannya, dengan menggunakan private massanger facebook. Pelapor yang juga mantan suaminya, membobol akun facebook Wisni. Pelaporan kekerasan dalam rumah tangga dan illegal access terhadap suaminya, justru tidak ditindaklanjuti. Kasus serupa juga menjerat Baiq Nuril di Mataram pada 2015, beruntung keduanya akhirnya dibebaskan. Kasus berbeda terjadi pada dr. Ira Simatupang, di Tangerang pada 2010. Ira yang merupakan korban kekerasan seksual dan percobaan perkosaan pada 2006, justru dilaporkan pencemaran nama baik, oleh orang yang sebelumnya dilaporkannya. Ira divonis bersalah dengan hukuman 5 bulan penjara.

  • Salah kaprah penerapan pasal ujaran kebencian

Pasal penjerat penyebar kebencian seharusnya dapat digunakan secara efektif untuk menjerat para penyebar kebencian terhap golongan-golongan penduduk tertentu (SARA), karena tindakannya yang mengoyak kemanusiaan. Namun dalam praktiknya, justru penggunaan pasal ini seringkali salah sasaran. Terhadap subjek dan konteks peristiwa yang tidak semestinya masuk dalam kualifikasi ujaran kebencian, justru diterapkan pasal penyebar kebencian. Kesulitan dalam melakukan identifikasi antara kebebasan berekspresi dan ujaran kebencian menjadi faktor pemicu salah kaprahnya penerapan pasal ini. Kasus Florence Sihombing di Yogyakarta, pada 2014, menjadi salah satu contohnya. Pelaku dan peristiwanya jelas tidak memenuhi kualifikasi penyebaran kebencian, tetapi Florence tetap dituntut dan divonis bersalah dengan hukuman 2 bulan penjara.

  • Disinformasi berujung penganiayaan fisik

Praktik-praktik penganiayaan fisik dan verbal atau sering diberitakan dengan istilah “persekusi” terhadap kelompok masyarakat tertentu, yang dianggap melakukan kritik terhadap kelompok lainnya, marak terjadi jelang Pemilu 2019. Praktik ini dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan kelompok agama tertentu, dengan dalih pembelaan agama dan kelompoknya. Sasarannya tersebar, tidak terkonsentrasi pada identitas tertentu atau kelompok orang tertentu. Akan tetapi, perempuan menjadi kelompok paling rentan dari praktik ini. Seperti yang dialami dr. Fiera Lovita di Solok, yang harus mengalami perundungan di media sosial, yang kemudian diteruskan dengan tindakan intimidasi offline yang mengancam keamanan dirinya dan keluarganya. Munculnya praktik ini sendiri seiring dengan masifnya penyesatan informasi, yang dianggap sebagai kebenaran oleh sekelompok masyarakat tertentu yang meyakininya.

Apa yang bisa dilakukan?

Melihat fenomena ini, ada beberapa hal yang bisa dilakukan, khususnya oleh pemerintah, juga DPR, dan perusahaan penyedia platform (intermediaries). Perlu langkah legislatif yang berperspektif gender, baik dalam sektor ICT secara umum, maupun aturan tentang kejahatan cyber, perlindungan data maupun privasi secara umum. Pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dapat menjadi pintu masuk untuk membahas dan mengatur lebih baik situasi ini. Selain itu juga penting integrasi gender dan pemberdayaan perempuan dalam seluruh rencana aksi atau peta jalan TIK nasional. Juga penguatan kapasitas aparat, khususnya yang terkait dengan penanganan kasus-kasus kejahatan cyber. Sementara penyedia platform perlu memperjelas term of services (ToS) mereka, sehingga mudah dipahami konsumen. Mereka juga perlu memulai pendidikan konsumen untuk memastikan peningkatan literasinya, penyediaan unit pengaduan yang mudah diakses, dan penyediaan pendamping hukum jika terjadi kasus yang melibatkan platform-nya. [ ]

Perempuan dan Internet_Berbagai Sisi Kerentatan

Leave a comment