State of Emergency (Keadaan Darurat): sebuah pengantar

Published by

on

IMG-20170717-WA000Secara umum keadaan darurat (state of emergency) dapat dimaknai sebagai pernyataan penguasa untuk menunda suatu fungsi yang normal dari sejumlah kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif, termasuk juga mengubah kehidupan normal warga negara dan institusi pemerintah, dalam rangka tanggap darurat. Pengertian ini sebagaimana dirujuk dari pemikir Jerman, Carl Schmitt, dalam apa yang disebutnya sebagai state of exception, yakni kemampuan atau tindakan yang dilakukan oleh pemegang kedaulatan—souvereign untuk melampaui/mengecualikan aturan hukum—rule of law atas nama kepentingan publik. Schmitt menegaskan, bahwa the souvereign adalah “he who decides on the exception”.

Kewenangan penguasa untuk menetapkan suatu keadaan darurat tidaklah bisa dilepaskan dari kewajibannya untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia bagi warganya. Hal ini sebagai konsekuensi dari penyerahan kedaulatan rakyat kepada penguasa, serta kepatuhan terhadap segala macam perangkat hukum yang diciptakan oleh penguasa. Hubungan ini sebagaimana dijelaskan oleh John Locke dalam teori ‘perjanjian masyarakat’, yang menjadi sandaran bagi berlakunya prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori tersebut, John Locke menegaskan, rakyat adalah pemegang kekuasaan—kedaulatan tertinggi (kedaulatan berada di tangan rakyat), kemudian untuk menjalankan kekuasaan tersebut rakyat menunjuk seorang penguasa atau dikenal sebagai pemerintah. Seorang penguasa yang ditunjuk tersebut berkewajiban untuk melindungi hak-hak alamiah manusia, yang di dalamnya termasuk hak hidup, hak atas kebebasan dan hak milik.

Kewajiban penguasa untuk melindungi hak-hak alamiah manusia sebagai konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat juga ditegaskan oleh Immanuel Kant. Dalam teorinya Kant menekankan bahwa tujuan negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan warga negara. Kebebasan warga negara dibatasi dengan hukum, sedangkan hukum itu sendiri adalah cerminan dari kehendak rakyat. Lebih jauh berdasarkan bangunan teori yang dikemukakan oleh sejumlah pemikir di atas bisa disimpulkan, jika kita membicarakan kewenangan penguasa untuk menetapkan suatu keadaan darurat yang di dalamnya dimungkinkan adanya tindakan pembatasan terhadap hak asasi manusia, sesungguhnya tidaklah bisa dipisahkan dari akar prinsip kedaulatan rakyat serta kewajiban negara untuk melindungi hak-hak asasi warganya.

Konstitusionalitas keadaan darurat

Dalam konteks Indonesia, konstitusi menyatakan diri menganut prinsip kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara, hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Selain penegasan prinsip kedaulatan rakyat, UUD 1945 juga menegaskan sejumlah tujuan negara yang hendak dicapai, yang salah satunya adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap seperangkat hak konstitusional warga negara, sebagaimana termaktub di dalam Mukadimah UUD 1945.

Dalam rangka menjalankan prinsip kedaulatan rakyat serta upaya mencapai tujuan negara sebagaimana ditegaskan UUD 1945, maka dipilihlah seorang Presiden melalui suatu proses pemilihan umum, yang selanjutnya Presiden memiliki peranan sebagai pelaksana kekuasaan pemerintahan, seperti dinyatakan di dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Sebagai pengejawantahan dari pelaksanaan kekuasaan pemerintahan itulah, apabila terdapat ancaman terhadap keselamatan warga negara dan integritas/keutuhan wilayah, Presiden diberikan wewenang untuk menetapkan suatau keadaan bahaya/darurat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 UUD 1945, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-undang”.

Penetapan adanya suatu keadaan bahaya/darurat oleh Presiden dimaksudkan untuk  menentukan langkah-langkah lanjutan yang sifatnya mampu mengatasi keadaaan yang dimaksud, termasuk melakukan pembatasan hak asasi manusia warga negara serta tindakan-tindakan pengecualian lainnya, dalam rangka penyelamatan negara, misalnya pengecualian atas fungsi kekuasaan legislatif seperti dinyatakan dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 ”dalam hal Ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-undang”.

Pelaksanaan kewenangan Presiden untuk menyatakan adanya suatu keadaan bahaya adalah mutlak sebagai penjabaran dari fungsi kekuasaan pemerintahan, tidaklah ada otoritas lain yang memiliki kewenangan seperti halnya Presiden untuk menggerakkan seluruh perangkat negara. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Willian B Fisch, yang menyatakan, “Strong presidents have claimed not only that the constitution provides ample authority to deal with emergencies as well as normal times, but the executive is the preeminent holder of the such authority” (Asshiddiqie, 2010: 227).

Presiden dalam kapasitasnya sebagai pemimpin tertinggi kekuasaan pemerintahan ketika dalam keadaan darurat memiliki perangkat untuk mengambil alih semua fungsi negara, dalam rangka menyelamatkan negara, termasuk melakukan pembatasan hak-hak warga negara serta menggerakan alat-alat opresif negara, berdasarkan kondisi-kondisi objektif tertentu. Dikemukakan oleh Emanuel Gross (2008), “In order to protect the public in times of emergency, the Executive Branch is conferred with wider administrative powers than in times of peace”. Jimly Ashiddiqie (2007:80) dalam pendapatnya tegas mengatakan, “Pejabat yang secara konstitusional berwenang untuk menetapkan dan mengatur keadaan darurat itu hanya Presiden, bukan pejabat yang lain”. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran dari Rousseau, yang menyatakan bahwa kedaulatan—the souvereign memiliki ciri kesatuan, bersifat monistis, bulat dan tak terbagi, tidak dapat dialihkan, dan tidak dapat berubah.

Bersandar pada uraian-uraian di atas bisa ditarik kesimpulan setidaknya dua hal: Pertama, kewenangan penetapan keadaan darurat sesungguhnya adalah kekuasaan yang dimiliki oleh pemilik kedaulatan tertinggi—rakyat, yang kemudian dilimpahkan pada pelaksana kekuasaan pemerintahan, dalam rangka menyelamatkan integritas wilayah, termasuk melindungi keselamatan dan hak-hak warga negara; Kedua, kewenangan untuk menetapkan suatu keadaan darurat semata-mata hanyalah wewenang yang dimiliki oleh pemimpin tertinggi kekuasaan pemerintahan, dalam hal ini Presiden, yang memiliki otoritas untuk menggerakan semua perangkat negara ketika terjadi keadaan darurat, termasuk untuk mengambil alih fungsi yudikatif dan legislatif.

Dalam praktiknya di dunia, terdapat banyak model penetapan keadaan darurat, sebagaimana diterapkan di sejumlah negara. Model yang paling klasik misalnya diterapkan pada masa kekuasaan Romawi dengan pendekatan kediktatoran (dictatorship); di Perancis dikenal dengan pendakatan state of siege, yang juga banyak diterapkan dalam negara yang menganut civil law system; sementara di Inggris menggunakan pendekatan martial law, yang banyak diadopsi oleh negara yang menganut common law system. Mengulang pendapat Schmitt, pada intinya keadaan darurat dimaknai sebagai tindakan mengecualikan hukum normal, yang dilakukan oleh kekuasaan pemerintahan sebagai pelaksana kedaulatan, dalam suatu keadaan yang tidak normal, atas nama kepentingan publik, dalam rangka perlindungan warga negara dan keutuhan wilayah negara.

Merujuk pada pendapat Kim Lane Scheppele, dikatakan keadaan darurat adalah keadaan di mana suatu negara dihadapkan pada ancaman hidup-mati yang memerlukan tindakan responsif yang dalam keadaan normal tindak mungkin dapat dibenarkan menurut prinsip-prinsip yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Ditambahkannya, negara terpaksa melanggar prinsip-prinsip yang dianutnya sendiri dikarenakan adanya suatu ancaman yang serius, sehingga untuk menyelamatkan negara, tindakan penyimpangan tersebut terpaksa dilakukan.

Negara-negara di dunia juga beragam di dalam mengatur, memberikan pengertian dan kategorisasi mengenai keadaan darurat di dalam konstitusi nasionalnya. Perbedaan ini umumnya didasarkan pada perbedaan antara berbagai kategori darurat dalam kondisi faktual tertentu, di mana pernyataan darurat tertentu dari beragam rezim darurat yang ada, secara konstitusional diperbolehkan. Perbedaan ini tidak hanya mempengaruhi adanya perbedaan dalam metode deklarasi dan durasi waktu penerapan, tetapi juga hal-hal seperti sifat, ruang lingkup, dan lingkup kekuasaan darurat pemerintah, serta kemungkinan melenceng perlindungan hak konstitusional warga.

Beberapa konstitusi nasional sejumlah negara membuat struktur ganda dalam rezim darurat, seperti halnya yang dianut dalam Konstitusi Belanda dan Konstitusi Portugal, yang mengakomodasi adanya dua jenis keadaan darurat. Konstitusi Belanda misalnya membagi keadaan darurat menjadi ‘state of war’ dan ‘state of emergency’. Sementara Konstitusi Portugal membedakan antara ‘state of emergency’ dengan ‘state siege’. Dalam kasus-kasus adanya agresi dari pasukan asing maka negara akan dinyatakan dalam status ‘keadaan perang’, sedangkan apabila terdapat ancaman serius atau gangguan dari tatanan demokratis konstitusional atau bencana publik maka yang akan dikeluarkan adalah deklarasi ‘keadaan darurat’.

Berangkat dari pendapat sejumlah ahli di atas, unsur-unsur keadaan darurat setidaknya dapat dilihat dari sejumlah indikator berikut ini: (1) adanya ancaman terhadap eksistensi negara; (2) diperbolehkannya tindakan responsif yang menyimpang dari kaidah hukum normal; (3) dikeluarkan melalui sebuah pernyataan resmi negara; (4) penetapan keadaan darurat hanya berlaku untuk periode waktu tertentu; (5) harus adanya batasan yang jelas mengenai ruang lingkup berlakunya keadaan darurat; dan (6) diperbolehkannya pengurangan hak-hak warga negara untuk hak yang dapat diderogasi.

Ketika suatu pernyataan keadaan darurat dikeluarkan, Pemerintah yang dipimpin langsung oleh Presiden diberikan wewenang untuk mengerahkan seluruh perangkat pemerintahan termasuk di dalamnya militer, guna segera mengatasi keadaan darurat tersebut dalam waktu yang secepat-cepatnya. Ada beberapa perbedaan pendekatan yang digunakan dalam pengerahan ini. Asal-muasalnya setidaknya dapat dipisahkan menjadi dua: Civil Law System dan Common Law System, dengan sejumlah karakteristik berikut ini:

Civil Law System Common Law System
–  keadaan darurat bukan merupakan kondisi di mana hukum dalam sementara dibatalkan dan berlaku perintah dari seorang komandan. Kondisi ini ditegaskan melalui suatu perangkat hukum, diizinkan oleh konstitusi dan diselenggarakan di bawah otoritas tertentu sebagaimana mandat undang-undang.

–  keadaan darurat diterapkan dalam keadaan negara menghadapi invasi dari militer asing atau ketika menghadapi pemberontakan internal dan kerusuhan. Deklarasinya dibedakan menjadi dua macam (i) état ​​de siege réel (keadaan perang dalam arti sesungguhnya) dan (ii) état ​​de siege fictif (keadaan darurat konstruktif) .

–  hal lain yang musti diperhatikan, (i) keadaan darurat (perang) tidak membuat setiap pembuatan undang-undang menjadi kekuasaan dari eksekutif; (ii) keadaan darurat tidak membawa perubahan mendasar dalam hubungan antara legislatif dan eksekutif, atau antara pemerintah sipil dan militer. Militer tetap harus tunduk pada arahan dan instruksi dari para menteri. Bahkan ketika keadaan darurat telah dinyatakan, lembaga legislatif tetap memegang fungsi pengawasan terhadap eksekutif.

 

–  dalam sistem ini keadaan darurat bahkan diistilakan sebagai darurat militer atau situasi ketika hukum militer diberlakukan. Pernyataan ini dapat diterapkan untuk keseluruhan wilayah atau area tertentu dalam rangka mengatasi krisis kekerasan khusus.

–  merujuk pada Albert Venn Dicey keadaan darurat militer dibedakan menjadi dua kategori: (i) suspensi hukum biasa dan berlakunya pemerintah sementara atau berlakunya pengadilan militer. Dalam situasi ini hukum biasa ditunda dan diganti dengan hukum perang dan setiap orang dapat ditangkap, dipenjara, atau dieksekusi pada kehendak pengadilan militer tanpa memperhatikan proses hukum biasa; (ii) berkonotasi kekuasaan pemerintah untuk menjaga ketertiban umum atau warga negara, dengan biaya apapun dari darah atau properti yang mungkin diperlukan. Berarti bahwa darurat militer merupakan bagian dari hukum negara.

–  lebih jauh menurut Dicey, hukum darurat memiliki karakteristik: (i) sumber hukumnya adalah hak hukum untuk memenuhi kekuatan secara paksa. Hak ini dimiliki oleh pemerintah dan warga; (ii) perlunya keadaan (kondisi) adalah satu-satunya kriteria yang digunakan untuk menentukan kebutuhan penggunaan langkah-langkah darurat dapat digunakan. (iii) mengizinkan penggunaan segala cara yang diperlukan untuk menekan pemberontakan internal maupun kerusuhan serta memukul mundur invasi. Namun, tidak memungkinkan tindakan hukuman terhadap penjajah atau perusuh di luar proses hukum biasa. Pengadilan militer dan komandan tidak berwenang mengadili orang-orang tersebut atau menghukum mereka karena partisipasi mereka dalam kerusuhan atau invasi. Darurat militer sifatnya adalah pencegahan, bukan hukuman.

Dari dua pendekatan itulah selanjutnya negara-negara mengaplikasikan pengaturan keadaan darurat di dalam konstitusi nasional mereka, baik secara eksplisit dan mendetail maupun sebagai sebuah meta-aturan kontruksi konstitusi. Dikarenakan besarnya kewenangan yang dimiliki oleh kekuasaan pemerintahan ketika suatu keadaan darurat dideklarasikan, termasuk kewenangan pengerahan militer, maka sesuai dengan originalitasnya kewenangan itu merupakan bagian dari hak prerogatif pemimpin tertinggi kekuasaan pemerintahan.

Keadaan darurat dalam rezim hukum internasional HAM

Dalam rezim hukum hak asasi manusia internasional juga diatur perihal ‘keadaan darurat’. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) ICCPR memaknai keadaan darurat sebagai “situasi yang mengancam terhadap kehidupan bangsa dan keberadaannya”. Sementara General Comment No. 29 ICCPR, yang didopsi pada 31 Agustus 2001 memaknai keadaan darurat sebagai ‘suatu keadaan yang luar biasa—eksepsional dan bersifat temporer’.

Pengertian yang detail mengenai keadaan darurat dalam rezim hukum hak asasi manusia internasional dirumuskan di dalam Prinsip-prinsip Siracusa tentang Pembatasan dan Pengecualian pelaksanaan Hak-hak Sipil dan Politik. Di dalam prinsip 39 dikatakan bahwa keadaan darurat dideklarasikan apabila ada, “a threat to the life of the nation is one that: affects the whole of the population and either the whole or part of the territory of the State, and threatens the physical integrity of the population, the political independence or the territorial integrity of the State or the existence or basic functioning of institutions indispensable to ensure and protect the rights recognized in the Covenant”.

Penjelasan yang cukup detail mengenai keadaan darurat juga dikemukakan di dalam Paris Minimum Standards of Human Rights Norms in a State of Emergency (Paris Standards), yang menjelaskan: (a) The existence of a public emergency which threatens the life of the nation, and which is officially proclaimed, will justify the declaration of a state of emergency; (b) The expression ‘‘public emergency” means an exceptional situation of crisis or public danger, actual or imminent, which affects the whole population or the whole population of the area to which the declaration applies and constitutes a threat to the organized life of the community of which the state is composed.

Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa di dalam beberapa putusannya juga telah memberikan jurisprudensi mengenai batasan dari keadaan darurat. Dalam kasus Lawless v. Ireland misalnya, mereka menyatakan keadaan darurat sebagai ‘‘a situation of exceptional and imminent danger or crisis affecting the general public, as distinct from particular groups, and constituting a threat to the organised life of the community which composes the State in question”. Penegasan mengenai syarat-syarat tentang keadaan darurat kemudian ditegaskan oleh Pengadilan HAM Eropa dalam kasus Yunani, dinyatakan bahwa keadaan darurat haruslah: “actual or imminent; its effects must involve the whole nation; the continuance of the organized life of the community must be threatened; and the crisis or danger must be exceptional, in that the normal measures or restrictions, permitted by the convention for the maintenance of public safety, health, and order, are plainly inadequate”.

Dengan bersandar pada rumusan-rumusan aturan di dalam rezim hukum hak asasi manusia internasional, unsur-unsur keadaan darurat setidak-tidaknya dapat dilihat dari beberapa elemen berikut ini: (1) adanya ancaman bagi kehidupan bangsa dan eksistensinya; (2) mengancam integritas fisik penduduk, baik di semua atau sebagian wilayah; (3) mengancam kemerdekaan politik atau integritas wilayah; (4) terganggunya fungsi dasar dari lembaga-lembaga pemerintah sehingga mempengaruhi kewajiban perlindungan hak-hak warga negara; (5) keadaan darurat dinyatakan secara resmi melalui sebuah deklarasi keadaan darurat; (6) ancamannya bersifat aktual atau akan terjadi; (7) tindakan pembatasan diizinkan untuk pemeliharaan keselamatan, kesehatan, dan ketertiban umum; (8) bersifat temporer atau dalam periode waktu tertentu.

Pengaturan keadaan darurat di Indonesia

Terkait dengan keadaan darurat, UUD 1945 memiliki struktur yang hampir serupa dengan Konstitusi Belanda, yang menganut rezim ganda dalam keadaan darurat, yakni keadaan darurat perang serta keadaan bahaya. Namun demikian Pasal 12 UUD 1945 tidak secara detail dan tegas mengatur mengenai pengertian dan batasan keadaan bahaya atau keadaan darurat. Sementara bila merujuk pada penjelasan UUD 1945 pra-amandemen, dalam penjelasan Pasal 12 dikatakan bahwa Kekuasaan Presiden dalam pasal ini ialah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara.

Merujuk pada pendapat Jimmly Asshiddiqie (2007: 59), keadaan bahaya atau keadaan darurat menurut UUD 1945 dapat dimaknai sebagai, suatu keadaan luar biasa atau di luar kebiasaan, di luar keadaan normal, ketika norma-norma hukum dan lembaga-lembaga penyelenggara kekuasaan negara tidak dapat berfungsi sebagaimana adanya menurut ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan dalam keadaan normal. Kemudian untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 12 UUD 1945 tersebut negara sudah memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya, seperti halnya diatur dengan UU No. 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya, juga beberapa perundang-undangan lainnya.

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya, terdapat tiga kriteria untuk dapat dikatakan sebagai keadaan bahaya, yaitu:

  • keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
  • timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
  • hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 12 UUD 1945, menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 23/PRP/1959 maka pengumuman pernyataan keadaan darurat hanya boleh dikeluarkan/dinyatakan oleh Presiden. Status keadaan darurat ini berlaku untuk periode waktu tertentu, sebagaimana diatur oleh undang-undang.

Pengertian mengenai keadaan bahaya juga tertuang di dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi, yang menyebutkan, “Keadaan bahaya adalah suatu keadaan yang dapat menimbulkan ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan hidup bangsa dan Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-undang Keadaan Bahaya”. Selengkapnya, merujuk pada Penjelasan UU Mobilisasi dan Demobilisasi bagian Umum angka 5 disebutkan, “Presiden menyatakan berlakunya keadaan bahaya untuk seluruh wilayah negara ataupun sebagian dari padanya sesuai dengan intensitas ancaman yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat atau kelangsungan hidup bangsa dan negara serta keutuhan wilayah maupun persatuan dan kesatuan nasional. Hal-hal yang mendasari kewenangan Presiden untuk mengeluarkan pernyataan berlakunya keadaan bahaya, di antaranya: (a) terjadinya pemberontakan atau perlawanan bersenjata yang mengancam kedaulatan negara atau terjadinya bencana yang mengancam keamanan dan ketertiban hukum dan dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh unsur-unsur kekuatan pertahanan keamanan negara secara biasa; (b) terjadinya hal-hal yang langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan timbulnya sengketa bersenjata; (c) timbulnya hal-hal yang dapat membahayakan kelangsungan hidup negara”.

Selain dua peraturan perundang-undangan di atas, untuk ruang lingkup yang lebih spesifik tentang keadaan darurat bencana, Indonesia juga telah memiliki UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Menurut Pasal 1 Ketentuan Umum angka 19 UU Penanggulangan Keadaan Bencana, keadaan darurat bencana didefinisikan sebagai berikut ini: “Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi Badan yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana”.

Dalam kerangka hukum nasional, dengan merujuk ketentuan UUD 1945 serta sejumlah peraturan perundang-undangan di bawahnya maka dapat ditarik kesimpulan jika batasan-batasan keadaan darurat atau keadaan bahaya adalah meliputi: (1) adanya ancaman terhadap persatuan dan kelangsungan hidup bangsa; (2) terganggunya keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau sebagian wilayah negara, baik berupa pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau bencana alam; (3) akibat ancaman tersebut lembaga-lembaga penyelenggara kekuasaan negara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa; (4) ditetapkan melalui sebuah pernyataan resmi keadaan darurat dari pemerintah, dalam hal ini Presiden, untuk seluruh wilayah atau wilayah tertentu; (5) pernyataan keadaan darurat tersebut berlaku untuk periode waktu tertentu.

Berdasarkan pada pendapat para ahli (doktrin), rezim hukum internasional hak asasi manusia, serta ketentuan-ketentuan hukum nasional, maka unsur-unsur keadaan darurat dapat diperbandingkan sebagai berikut:

Doktrin Hukum Internasional Hukum Nasional
a.    adanya ancaman terhadap eksistensi negara;

b.    diperbolehkannya tindakan responsif yang menyimpang dari kaidah hukum normal;

c.    dikeluarkan melalui sebuah pernyataan resmi negara;

d.   penetapan keadaan darurat hanya berlaku untuk periode waktu tertentu;

e.    harus adanya batasan yang jelas mengenai ruang lingkup berlakunya keadaan darurat; dan

f.     diperbolehkannya pengurangan hak-hak warga negara untuk hak yang dapat diderogasi.

a.     adanya ancaman bagi kehidupan bangsa dan eksistensinya;

b.    mengancam integritas fisik penduduk, baik di semua atau sebagian wilayah;

c.     mengancam kemerdekaan politik atau integritas wilayah;

d.    terganggunya fungsi dasar dari lembaga-lembaga pemerintah sehingga mempengaruhi kewajiban perlindungan hak-hak warga negara;

e.     keadaan darurat dinyatakan secara resmi melalui sebuah deklarasi keadaan darurat;

f.     ancamannya bersifat aktual atau akan terjadi;

g.    tindakan pembatasan diizinkan untuk pemeliharaan keselamatan, kesehatan, dan ketertiban umum;

h.    bersifat temporer atau dalam periode waktu tertentu.

a.  adanya ancaman terhadap persatuan dan kelangsungan hidup bangsa;

b.  terganggunya keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau sebagian wilayah negara, baik berupa pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau bencana alam;

c.  akibat ancaman tersebut lembaga-lembaga penyelenggara kekuasaan negara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa;

d. ditetapkan melalui sebuah pernyataan resmi keadaan darurat dari pemerintah, dalam hal ini Presiden, untuk seluruh wilayah atau wilayah tertentu;

e.  pernyataan keadaan darurat tersebut berlaku untuk periode waktu tertentu;

f.   dapat dilakukannya pengurangan terhadap hak-hak tertentu dari warga negara.

***

2 responses to “State of Emergency (Keadaan Darurat): sebuah pengantar”

  1. Adisti Avatar
    Adisti

    Buku apa saja yang bisa menjadi referensi terkait keadaan darurat?

  2. Alvian Avatar
    Alvian

    Jujur, penjelasan menarik mengenai hukum negara darurat. cukup membantu saya dalam menambah literasi dan untuk bahan penelitian saya. mohon izin untuk mengutip bebrapa pendapat bapak wahyu dalam penelitian saya. Terima kasih. Jum’at, 9 Oktober 2020

Leave a comment